• MALANG KUçEçWARA‬ • MALANG NOMINOR SURSUM MOVEOR • MALANG BELONGS TO ME •

24 Agustus 2015

SEBUAH PERADABAN DARI ‘BAWAH TANAH’ KOTA MALANG [PART 4]

Sebuah Peradaban Dari Bawah Tanah Kota Malang [IV]


Setelah mengalami evolusi penting, scene cadas kota Malang melahirkan lembaran baru yang masih berlangsung dan mungkin tidak akan terputus. Sebuah era yang dimainkan oleh pelaku-pelaku muda dan menjadi intro pertama dari scene, underground, do-it-yourself, gigs, squat, serta segala kata kunci yang pernah digilai saat itu. Sebuah jaman bingung dan konyol bersama pemuda-pemuda yang masih dalam ‘fase pencarian’. Egois, ambisius, penuh slogan dan bombastis. Hingga tiba-tiba logo pentagram, simbol X di tangan, lambang anarki, serta rambut pirang dan mohawk lem kayu bertebaran di mana-mana…

Era 1996 – 2000 ; Periode Penggali Tanah
Sepeninggal komunitas Gemma [Generasi Musisi Malang] sekitar tahun 1995, muncul kemudian generasi anyar yang berusia belasan tahun hadir mengisi lembaran kosong aktifitas rock dan metal di Malang. Mereka adalah anak-anak muda yang sebelumnya dibesarkan sebagai penonton, fans atau band peserta festival garapan Gemma. Mereka juga mengaku banyak belajar dari fenomena scene rock lokal selama kurun waktu sebelumnya. “Kita emang mulai kumpul pas nonton acara-acaranya Gemma itu. Kalo ada anak yang pake kaos band sangar atau ada band yang bawain lagu kenceng pasti deh kita samperin dan ajak kenalan,” kenang seorang kawan lama mengingat masa-masa awal ketika mereka mulai berkumpul bersama.

Anak-anak muda itulah yang mulai mengenal idiom Underground [istilah dari pers/media bagi gerakan bermusik melalui jalur alternatif yang tidak umum dan tidak lazim] dan Do It Yourself atau D.I.Y [etos kerja yang mandiri atau swadaya]. Dari situ pula mereka mulai tahu yang namanya Scene [lingkungan komunitas yang berdasarkan kesamaan hobi, minat atau idealisme], Gigs [konser kecil] dan Squat [tongkrongan/basis]. Meskipun kadang masih dalam terminologi yang sempit dan membabi-buta. Maklum, istilah-istilah itu masih jadi ‘barang baru’ bagi mereka.

Spontan mereka coba mempraktekkan nilai-nilai independensi dan etika do-it-yourself dalam bermusik. Mereka mulai membuat jaringan dengan komunitas serupa yang berada di Bandung, Jakarta, Surabaya, Jogja dan Bali. Networking tersebut berhasil terbentuk dari kesamaan latar belakang, selera, trend, visi, pola pikir, serta rentang usia yang tidak jauh beda. Mereka tampak antusias bekerjasama dengan penuh rasa solidaritas dan saling mendukung tanpa ada pengkotak-kotakan. Boleh dibilang mereka adalah anak-anak muda yang mempelopori munculnya sebuah sub-kultur baru di kota Malang. Istilahnya saat itu ; Arek Underground!!!

Bersamaan dengan evolusi musik cadas, genre-genre metal yang lebih ekstrim dan aktual seperti aliran blackmetal, deathmetal hingga grindcore jadi referensi utama bagi anak muda di jaman itu. Mereka mulai tertantang untuk bermain musik dan membentuk band baru. Lahirlah kemudian band-band dengan nama unik dan cenderung seram seperti Rotten Corpse, Perish, Sekarat, Santhet, Keramat, Genital Giblets, Grindpeace, Peti Mati, Sacrificial Ceremony, Ritual Orchestra dan masih banyak lagi.

Band-band itu awalnya tumbuh dengan memainkan lagu-lagu karya band asing [coversong], sambil sesekali mencoba menulis karya lagu sendiri. Jika ada kesempatan mereka berupaya manggung pada event parade atau festival musik yang mengharuskan setiap band membayar biaya pendaftaran. Tak jarang mereka rela patungan sambil membawa suporter dalam ‘misi suci’ penyebaran eksistensi serta idealisme musik mereka. Semacam ‘show of force’ kepada masyarakat lah istilahnya…

Beberapa pertunjukan musik yang merangkum aksi band-band underground lokal pada saat itu antara lain ; Fisheries karya mahasiswa Fakultas Perikanan Unibraw, Independent di kampus ITN, RMC garapan muda-mudi karang taruna di Singosari, serta sejumlah parade musik di GOR Pulosari dan gedung DKM. Satu kawan yang lain ikut bercerita, “Kehadiran kita di konser-konser itu selalu menarik perhatian penonton awam deh pokoknya. Ngeri kali yah mereka, soalnya penampilan kita sangar-sangar, trus selalu maju headbanging pas band-nya anak-anak manggung.”

Sebagian dari anak-anak muda itu lalu membidani kelahiran sebuah komunitas underground lokal bernama Total Suffer Community [TSC] – yang embrionya sudah dicetuskan sejak pertengahan tahun 1995. Ide membuat ‘klub underground’ itu lahir setelah mereka melihat komunitas serupa di luar kota juga memiliki ‘identitas’ sendiri, seperti misalnya Extreme Noise Grinding [Ujungberung], Bandung Lunatic Underground, Blackmass [Bandung], Jogja Corpsegrinder, Bali Corpsegrinder, atau Independent [Surabaya].

Saat itu, obsesi awal TSC hanya ingin membuat konser underground yang pertama di Malang. Proyek tersebut akhirnya berhasil diwujudkan lewat event bertajuk Parade Musik Underground [PMU] di gedung Sasana Asih YPAC, pada tanggal 28 Juli 1996. PMU sendiri akhirnya sempat jadi serial gigs lokal terbesar hingga mencapai sekuelnya yang ketiga di tahun 1998 dengan mengundang berbagai band cadas dari Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Bali. Bahkan boleh dibilang, PMU merupakan landmark bagi konser-konser underground selanjutnya di Malang.

Kehadiran TSC yang dikepalai oleh Budhy Sarzo itu membuat scene musik cadas di kota Malang makin semarak. Eksistensi mereka mewarnai gaya hidup dan budaya lokal kaum muda. Anak-anak muda yang hampir selalu berkostum item-item itu seringkali terlihat bergerombol di sekitar kantor Kabupaten depan Malang Plaza, Food Center Hero Supermarket, atau di seberang Dieng Plaza pada setiap pekannya. Semacam ‘black gathering’ atau ‘rocks on weekend’?!…

Nongkrong mingguan yang disertai sharing informasi musik itu semakin membuka wawasan mereka tentang berbagai aktifitas di dalam scene underground. Obrolan mereka saat itu tidak jauh dari tema musik cadas, band, konser, sampai pada cara-cara bikin rekaman, fanzine, serta merchandise. Kadang juga diselingi dengan ajang pinjam-meminjam kaset, menyetel video konser asing dalam format VHS, tukar-menukar kaos metal, atau sekedar ‘jual-beli’ stiker dan foto band.

Dari situ perkembangan musik di kancah lokal mulai berjalan lebih maju. Genre dan selera musik yang mereka terima makin beragam dan variatif. Selain deskripsi rock dan metal, sejumlah aliran musik lain seperti punk, hardcore dan industrial juga mulai mewabah. Makin lama makin banyak yang ikut nongkrong di areal TSC. Uniknya, muncul kemudian ‘proses administrasi’ bagi semua anggota. Setiap anggota juga didata, dikenai iuran, serta berhak mendapatkan kartu member lengkap dengan nomor induk. Halah?!…

Bertambahnya anggota baru membuat TSC merangkumnya ke dalam divisi-divisi khusus yang didasarkan atas aliran musik. Yah, mirip ‘penjurusan’ kalau di sekolah, lengkap dengan ‘ketua kelas’-nya masing-masing. Hal itu semata-mata untuk mempermudah komunikasi bagi setiap kalangan genre musik yang ada.

Penggemar musik death metal dan grindcore tetap dominan di squat ini. Afril [Extreme Decay] saat itu masih memimpin umat black metal bersama Ipul [Santhet] dan Gayonk [Perish]. Ook [Grindpeace] memang maniak metal tapi menjadi salah pemuja musik noise dan industrial. Kalangan hardcore sepertinya dikomandoi Sandi, Doni, dan Viktor [Primitive Chimpanzee]. Sedangkan punk rock diminati oleh para personil No Man’s Land dan arek-arek ‘Gang Songo’. Meriah lah pokoknya…

Setiap komunitas genre itu akhirnya membuat squat-nya masing-masing. Mereka juga kerap berkumpul, berbincang dan merancang rencana untuk mengembangkan wawasan musiknya. Banyak cara yang biasa mereka lakukan seperti misalnya merancang gigs atau memesan kaset, CD, majalah musik dan kaos band favorit melalui jalur mail-order ke distributor asing.

Munculnya squat-squat kecil ternyata tidak hanya berdasarkan pada pilihan genre musik saja. Seperti maraknya tawuran geng antar kampung pada jaman itu, tidak lama kemudian muncul juga sejumlah squat yang eksis secara geografis di beberapa wilayah atau daerah penting. Awalnya mungkin anak-anak itu bertetangga, terus punya selera musik yang sama, lalu saling barter kaset, dan sering nongkrong bareng pada akhirnya. Yah, mungkin saatnya underground mulai masuk kampung dan ikut mewarnai rapat pemuda karang taruna. Hah!…

Kampung-kampung beraroma cadas mulai bermunculan di seputar kota. Sebut saja Sumbersari yang identik dengan blackmetal sehingga kerap dijuluki Triple S [Sumbersari Satan Service]. Kemudian anak-anak deathmetal dan grindcore yang bermarkas di sekitar Sanan, Bango, dan Sukun. Daerah Oro-oro Dowo [Gang Songo] dan Kotalama juga dikenal memiliki basis punk dan hardcore yang cukup kuat. Begitu juga wilayah Bareng yang sudah dikenal rock & roll sejak tempo doeloe serta mempunyai variasi genre musik yang beragam. Keberadaan squat semacam ini juga meluas hingga di kampung-kampung lain seperti Selorejo, Ketawang Gede, Dinoyo, Pakis, Singosari, Batu dan sebagainya.

Uniknya, squat yang tumbuh di sejumlah kampung itu justru produktif dan bikin scene kota Malang lebih dinamis. Beberapa di antaranya bahkan mampu membuat gigs-gigs lokal yang penting. Misalnya saja anak-anak kampung Sukun dengan gigs andalannya Chaos Sukun Live, lalu kampung Sanan dan Bango berkolaborasi bikin event musik Krisis, atau arek-arek Selorejo dengan serial gigs Ontrant-Ontrant yang masih aktif sampai sekarang dan sudah empat kali digelar. Belum lagi Pakis Parah, Singosari Bentrok, dan lain-lain.

Pada pertengahan tahun 1996 beberapa anak muda menggagas penerbitan media cetak independen dalam bentuk fanzine. Media itu dimaksudkan untuk menjaring informasi dan komunikasi yang lebih intens di kalangan publik underground. Terbitlah kemudian Mindblast, sebuah fanzine metal yang bertahan tiga edisi sampai tahun 1998. “Fanzine itu lahir dari rasa iri setelah melihat Bandung punya Revograms. Nekat aja dulu coba-coba bikin dengan modal terbatas. Pas Mindblast aktif, di Jakarta ada Brainwashed, trus Jogja juga punya Megaton. Eh, ternyata Mindblast cukup efektif juga untuk mengangkat scene Malang pada saat itu,” tutur salah satu editornya.

Media sederhana berformat fotokopian semakin marak dan terus berlanjut dengan kemunculan Imbecile, Escort, Brain To Think Mouth To Speak, Kemerdekaan Zine, Ndeso Zine, serta beberapa fanzine dan newsletter lokal lainnya. Semuanya dijalankan secara ikhlas, mandiri dan swadaya. Sekedar untuk transfer informasi dan proses dokumentasi scene musik cadas. “Meskipun pada akhirnya rugi trus bubar, hehe. Gak masalah kok demi scene tercinta. Biar rame!” ujar sebagian besar anggota redaksinya.

Saat itu peran media radio juga masih aktif men-support komunitas ini. Selain Senaputra, beberapa radio swasta dan eksperimen kampus juga mulai membuka airtime-nya untuk program siaran musik keras. Salah satunya adalah radio Bhiga FM milik unit kegiatan mahasiswa Unmer Malang yang rela menampung demo-demo rekaman lokal dari Malang maupun luar kota. “Jangan malas, apalagi menunggu. Kita sendiri lah yang musti aktif datang ke radio-radio itu sambil bawa kaset-kaset demo band lokal. Kalo perlu ikut siaran!” kata Ook menceritakan pengalamannya dulu ketika bergerilya ke radio-radio untuk promo band.

Sayangnya, scene musik lokal yang sedang menghangat itu sempat mengalami ‘tragedi’  yang cukup menyesakkan dada. Pada tahun 1997, GOR Pulosari tiba-tiba dibongkar oleh pemerintah daerah dan dikabarkan bakal mengalami renovasi. Namun yang terjadi kemudian venue legendaris itu malah berubah menjadi ruko dan supermarket. Kejadian tidak lama setelah mahasiswa STIEKN Malang menggelar festival musik di sana – yang menampilkan Pas Band, Burgerkill, dan Forgotten dari Bandung, serta sejumlah band lokal seperti Perish dan Sekarat.

Sayang, situs rock lokal yang bernilai sejarah tinggi itu akhirnya tinggal kenangan. Menyedihkan. Alhasil frekuensi pertunjukan musik rock di Malang juga ikut merosot drastis. Proyek peralihan fungsi GOR Pulosari itu bisa dianggap sebagai salah satu dosa terbesar pemerintah daerah terhadap perkembangan seni dan musik di kota Malang. Dengan geram seorang musisi lokal pun berujar, ”Root-nya musik rock di Malang itu ya dari Pulosari. Band kayak AKA, Godbless, Elpamas, sampai Slank pun pernah maen di situ. Band-band lokal juga besar dari situ. Sudah layak kalo kita protes trus menuntut pada pemerintah yang bodoh itu!…”

Beruntunglah komunitas underground dibekali etos kerja do-it-yourself yang masih bisa mendukung proses aktualisasi mereka. Mereka masih mampu merancang gigs sendiri meski dalam skala dan venue yang kecil. Buktinya berbagai jenis konser dan gigs yang dikelola secara mandiri mulai digelar di sana-sini. Kebanyakan muncul dengan judul titel acara yang unik, seperti misalnya Konflik, Spektakuler, Brotherhood, Pakis Parah, Expose, MCHC, The Sound of Fury, dan lain sebagainya.

Setelah GOR Pulosari raib, pertunjukan musik keras memang lebih sering memilih aula sekolah atau kampus sebagai venue-nya. Setiap acara biasanya mematok aksi 20 sampai 30 band dengan harga tiket antara 3000 hingga 5000 rupiah. Terkadang pihak panitia juga menyertakan band luar kota yang lumayan populer sebagai bintang tamunya, seperti Hellgods [Bdg], Slowdeath [Sby], Noise Damage [Bdg], Vexation [Bdg], Tympanic Membrane [Bdg], Demonstration Effect [Bali], Eternal Madness [Bali], Trauma [Jkt], Death Vomit [Jogja], dan lain sebagainya.

Kesalahan rocker-rocker generasi lama yang tidak mendokumentasikan karyanya dalam bentuk rekaman juga mulai diperbaiki oleh generasi saat itu. Minimnya sarana studio recording di Malang tidak bikin band lokal ketinggalan dalam proses merekam materi musik mereka. Memperbanyak jam terbang dengan manggung di berbagai daerah menjadi target mereka selanjutnya. Undangan show di luar kota disabet meski dalam budget dana yang minim atau tanpa bayaran sekalipun. Ketika itu berkarya, bikin demo rekaman dan pengalaman pentas adalah tiga hal utama yang ingin dicapai setiap band agar eksistensinya semakin diakui publik.

No Man’s Land tercatat sebagai band Malang pertama yang mampu membuat demo dan memasarkannya secara gerilya kepada fans-nya. Keberanian band punk rock itu untuk merilis album Separatist Tendency menjadi sangat fenomenal. Sebab ketika itu nama mereka notabene masih sangat baru dan belum terlalu dikenal publik. Tanpa diduga, Separatist Tendency berhasil terjual laris dari tangan ke tangan dan menjadi salah satu album lokal yang klasik hingga saat ini. “Album itu direkam live selama 15 jam di studio Oase pada bulan Februari 1996. Total kami hanya menghabiskan biaya dua ratus ribu,” terang Didit selaku frontman No Man’s Land.

Di sektor metal, Rotten Corpse adalah nama band yang paling populer saat itu. Selain sering menjajah panggung lokal, mereka juga sempat diundang manggung di berbagai kota mulai dari Surabaya, Bandung, sampai Jakarta. Nama mereka mulai diakui secara nasional setelah tampil pada sejumlah pentas underground yang fenomenal di jaman itu, seperti Bandung Underground #2 [1996], Total Noise Jakarta [1996], dan Bandung Berisik #2 [1997].

Setelah merilis demo secara independen, Rotten corpse akhirnya rekaman di studio Natural [Surabaya] dan menghasilkan album Maggot Sickness. Rilisan berformat kaset yang diproduksi Graveyard Production itu termasuk sukses untuk skala pasar metal yang sempit. Rekaman tersebut bahkan sempat dirilis ulang oleh sebuah label dari Malaysia untuk pasar distribusi di Asia Tenggara. Kesuksesan Maggot Sickness baik secara kualitas musik maupun reaksi publik untuk sementara ini masih dianggap sebagai patok tertinggi dalam sejarah rilisan album metal lokal dari Malang. Album ini bahkan masuk dalam deretan 20 Album Rock Revolusioner di Indonesia yang dimuat pada majalah MTV Trax2 edisi Agustus 2004.

Sejumlah band lokal yang lain juga mulai aktif dalam proyek rekaman dan panggung. Contohnya Sekarat berhasil merilis dua album independen, serta sempat manggung di Bali, Sidoarjo dan Surabaya. Kemudian Perish dengan debut album From The Rising Dawn yang penjualannya mencapai sold-out. Gayonk dkk bahkan sempat menjadi nama yang fenomenal bagi scene black metal di negeri ini. Mereka diundang tampil di Jogja, Bandung, Jakarta, hingga Denpasar. Nasib baik juga dialami Ritual Orchestra yang show-nya merambah hingga ke luar Jawa dan albumnya laris manis hingga di pasaran internasional.

Kemunculan label-label rekaman lokal seperti Confuse Records, Bittersounds, Raw Tape, atau Youth Frontline membuat scene kota Malang makin bergairah. Beberapa rekaman band lokal yang sempat beredar pada jaman itu antara lain ; Keramat “Approximate Death”, Bangkai “For What?!”, Extreme Decay “Bastard”, Mystical “Sawan Bajang”, HorridTruth/Boisterous “Split”, Antiphaty “W.A.R”, No Man’s Land “Punk Rock & Art-School Drop Outs”, Don’t Regret “Violence Cause”, Stolen Vision “They Makes Me Stronger”, The Babies “Malang City Punk Rocker”, dan masih banyak lagi.

“Gila, sampai orang-orang di kota lain juga pada heran. Banyak banget yah rilisan dari band-band Malang?!” ungkap sorang kawan menyatakan kekagumannya. Ini tidak lepas dari peran Ook yang saat itu mengelola Confuse Records dan sering merilis berbagai demo lokal untuk dipasarkan ke penjuru nusantara. Bayangkan satu etalase atau satu lapak pun bisa penuh hanya dengan stok demo-demo rekaman lokal Malang. Usaha sablon dan merchandise juga ikut berkembang mewarnai scene ini. Tiap band mulai memproduksi kaos, emblem, pin, atau stiker. Gus Dinn dan Ook lalu mempelopori munculnya distro pertama di Malang yaitu Abstract, yang kemudian berubah nama jadi Smash Shop.

Setelah mengoyak pasar nasional, giliran band lokal coba merambah pasar internasional. Mereka mulai melakukan kerjasama bilateral dengan jaringan label atau band di luar negeri melalui koresponden [ya, surat-menyurat via pos!]. Usaha tersebut ternyata cukup menuai hasil. Beberapa band sempat dikontrak label asing dan rilisannya dipasarkan sampai ke mancanegara. Upaya tersebut termasuk brilian dan patut dibanggakan. Setidaknya mereka turut mengharumkan nama Indonesia di peta scene underground internasional.

Extreme Decay adalah salah satu contoh band yang aktif dalam berbagai proyek kompilasi dan split-tape internasional. Mereka pernah bekerjasama dengan grupband Agathocles [Belgia], Demisor [S’pore], dan Parkinson [S’pore], serta berbagai label distribusi di Eropa dan Amerika. No Man’s Land juga sempat merilis split-tape dengan Karatz [M’sia] yang didistribusikan di asia tenggara. Antiphaty, Ritual Orchestra dan Perish juga pernah merasakan nasib serupa dalam proyek kompilasi internasional.

Jika indikasinya adalah berkarya, maka selama rentang tahun 1996 – 2000 boleh disebut sebagai masa paling produktif bagi scene underground Malang. Banyaknya karya rekaman lokal yang disertai dengan rutinitas gigs, eksistensi media serta label independen menjadi bukti nyata produktifitas mereka. Sungguh fenomena yang aneh dan membanggakan. Mengingat cukup banyak keterbatasan yang ada pada jaman itu. Namun mereka tetap bisa berjalan dengan cap ganjil dari para orang tua dan masyarakat awam. Tanpa dukungan dari pihak korporat atau industri mayor. Nyaris tanpa ekspos media, apalagi internet belum populer. Ditambah juga sarana dan referensi yang sangat minim. Namun toh anak-anak muda itu mampu bekerja secara mandiri dan aktif memanfaatkan jaringan untuk menghasilkan karya yang maksimal. Sejak era ini pula scene kota Malang mulai dianggap sebagai salah satu basis underground yang cukup aktif, penting dan disegani oleh publik nasional. And they can makes their own history…


[Samack]
Esai ini adalah bagian dari proyek dokumentasi scene rock MLG oleh Solidrock. Artikel berikutnya [era 2000-an] bakal mengupas invasi industri, arus tehnologi dan globalisasi, serta evolusi yang terjadi pada scene cadas kota Malang. Ketika reklame, fashion, distro, mp3, serta internet mulai menjadi panglima. Dan ucapkan selamat datang pada generasi rock milenium ketiga!…

SUMBER: https://apokalipwebzine.wordpress.com/2010/11/30/sebuah-peradaban-dari-bawah-tanah-kota-malang-iv/