21 Desember 2011
Tulisan keprihatinan seorang kawan terhadap kawan sekomunitas
Penangkapan anak punk yang dilakukan oleh Pemko Banda Aceh berkerjasama dengan pihak Poltabes Banda Aceh telah menyisakan berbagai macam keprihatinan. Penangkapan yang terkesan illegal tersebut telah mencabut hak — hak kebebasan berekpresi sebagai warga Negara Aksi kepriahatinan terus mengalir baik didalam negeri maupun luar negeri.
Seperti diberitakan The Globe Journal sekelompok anak punk Rusia mendatangi kantor KBRI melakukan aksi solidaritas penangkapan 65 anak punk Banda Aceh dengan mencoret-coret pagar dengan tulisan “punk is not crime”.
Walaupun sangat kita sayangkan di Aceh sendiri tidak muncul aksi yang serupa dari kalangan mahasiswa yang anti rasis, fasis dan anti diskriminasi kaum marjinal. Aceh kenapa bisa bisu dari aksi keprihatinan tersebut. Apakah aceh sudah menjadi daerah Neo-Fasisme, semoga tidak.
Hanya 3 orang yang mengaku mahasiswa FISIP Unsyiah menggelar aksi di Simpang Lima seperti di beritakan oleh The Globe Journal. Mereka mengkritisi pemerintah tidak melindungi hak orang untuk berserikat.
Punk lahir sebenarnya adalah akibat kegagalan para politisi dalam “politik jual — beli”, meyakinkan sebuah kontra kultur akan ide bahwa kita semua akan jauh lebih baik hidup baik hidup tanpa vampir-vampir ini.
“Semua pemerintahan tidaklah diinginkan dan tidak perlu, tidak ada pelayanan yang dapat disediakan pemerintahan yang tidak dapat disediakan oleh suatu komunitas secara swadaya. Kita tidak perlu disuruh - suruh melakukan sesuatu atau diberitahu bagaimana menghidupi hidup kita apalagi dibebani oleh pajak, aturan, regulasi - regulasi serta tuntutan - tuntutan akan hasil kerja kita” (Profane Existence(PE) #5,Agustus 1990 hal 38,Ayf)
Dari sisi lain punk juga terlibat dalam gerakan — gerakan perubahan mendukung hak-hak perempuan tidak dimarginalkan, kelas pekerja dan juga sangat bermusuhan dengan kapitalisme yang telah menghisap melalui praktek monopoli ekonomi. Gerakan punk biasanya lahir dari Rahim Negara-negara komprador dan Negara demokrasi palsu kapitalisme.
Eksploitasi di tempat-tempat kerja juga merupakan hasil kekejaman dan kerakusan yang ditampilkan oleh kapitalisme itu sendiri. Bahkan sistem ini juga telah melahirkan sebagian orang hidup mewah dari hasil kerja para pekerja yang tidak memiliki kemewahan. Atas dasar inilah muncul perlawan punk untuk melawan dominasi kapitalisme. Mereka membangun kelompok sendiri sebagai bentuk perlawanan terampas hak — hak mereka akibat dari kesarakahan pemilik modal.
Jadi, punk bukanlah segerombolan penjahat yang harus ditumpaskan oleh rezim. Penangkapan punk ditaman budaya sebuah tindakan melawan hukum dan ilegal, karena mereka sejauh ini tidak melanggar hukum dan tidak terlibat kekerasan. Kalaupun ada diantara mereka yang melanggar tindak pidana atau terlibat narkoba, maka tangkaplah yang terlibat saja, bukan semua ditangkap.
Bukan punk yang salah, tetapi beberapa oknum dari mereka yang melanggar aturan Negara. Ini sama halnya juga bila ada oknum kepolisian terlibat tindak pidana, apakah seluruh polisi harus ditangkap dan institusi polisi disalahkan? Tentu jawabannya tidak, tetapi oknum itu yang harus ditindak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Saya sangat miris saat membaca komentar-komentar difacebook dan komentar pembaca diberita online. Hampir semua komentar bernuansa fasis dan diskriminatif terhadap punk. Yang sangat membuat hati saya bertambah pilu saat mengetahui komentator tersebut adalah mahasiswa yang notabena memiliki wawasan dan kecerdasan lebih dari yang lainnya. Tidak pantas mengeluarkan kata-kata yang nuansa rasis dan fasis, padahal mahasiswa itu adalah kelompok masyarakat yang intelektual dan cerdas.
Komentar — komentar tersebut tidak sedikitpun mencerminkan watak intelektual yang katanya selalu berpihak kepada kaum marginal, malah terkesan berwatak fasis dan imoral. Apakah mahasiswa aceh pasca datangnya liberalisasi politik dan ekonomi telah degradasi sikap sosial? Tidak peka lagi dengan kondisi sosial warga yang marginal yang dilanggar hak-haknya?
Semoga apa yang saya baca difacebook dan komentar-komentar diberita online hanya mengatas namakan mahasiswa aceh, artinya mereka itu bukan mahasiswa tetapi orang yang mencoba memperburuk citra mahasiswa.
Oleh sebab itu saya sangat mendambakan lahirnya generasi Bangsa (mahasiswa) yang kritis dan peka terhadap situasi sosial yang sedang terjadi. Mahasiswa yang merupakan panutan masyarakat perlu menampilkan dan memberikan pendidikan-pendidikan yang baik kepada rakyat, supaya Aceh jangan terjebak dengan lingkaran syetan fasisme.
Perlu diketahui oleh semua kalangan, punk bukanlah penjahat yang harus diperlakukan secara tidak manusiawi. Bicara pembinaan mental dan psikologi bukan dengan cara kekerasan seperti direndam ke kolam atau kekerasan fisik lainnya. Disekap di Sekolah Polisi Negara (SPN) bukanlah solusi untuk pembinaan mereka. Justru akan mengganggu mental mereka kearah lebih buruk dengan diperlakukan demikian sampai harus digunduli segala.
Mereka juga manusia yang butuh diperlakukan layaknya orang yang tidak bersalah dan sama dimata hukum. Punk juga butuh setara dimata hukum tanpa ada yang mencabut hak-hak mereka. Melakukan pembinaan bukan dengan cara kekerasan, namun harus melalui pendekatan persuasif dan secara psikologis.
Sentuhan-sentuhan kelembutan yang seharusnya dilakukan, bukan malah pembinaan ala militer dan jangan salahkan mereka nantinya bila kelakuan mereka akan kasar, karena memang dibina dengan pola kekerasan.
Hemat saya mereka tidak melakukan penyimpangan prilaku seperti ungkapan Kapolda pada acara Funbike di Seutui tanggal 11 Desember 2011. Tidak ada perilaku yang menyimpang dari mereka, oleh sebab itu menilai orang jangan terjebak dengan simbul, jangan karena pakaian yang lusuh, rambut jingkrak atau celana koyak-koyak langsung menvonis seseorang itu penjahat, tentu jawabannya tidak. Pelajari dan teliti apa yang mereka perjuangkan dan siapa mereka, baru setelah itu mengambil kesimpulan.
Kalau pun dipermasalahkan prilaku menyimpang dinilai pada cara mereka berpakaian yang bukan tradisi orang Aceh atau bahkan orang Indonesia. Pertanyaan saya kembali muncul, kenapa yang berpakaian berjubah serba putih yang memakai celana diatas tumit sering bergerombolan antara satu masjid kemesjid lain tidak ditangkap. Cara berpakaian demikian juga bukan merupakan pakaian tradisi orang Aceh.
Kenapa mereka tidak ditangkap, lalu dibina seperti pembinaan anak punk tersebut. Maaf, bukan saya berniat rasis menulis tulisan ini, tetapi hanya sebagai perbandingan kenapa hanya pada anak punk diberlakukan demikian. Apakah kerana mereka orang minoritas didalam minoritas pantas diberlakukan sewenang-wenang. Tentu, jawabannya tidak. Tetapi kembali muncul pertanyaan, kenapa juga bisa terjadi, atau mungkin kita Negara barbar, entahlah.
Kalau pun harus mendapatkan pembinaan, bukan diperlakukan seperti penjahat kelas kakap, disekap kedalam penjara walau sebantar dan pembinaan yang tidak layak disebut pembinaan tetapi “penyiksaan”. Pelaku tindak pidana korupsi saja tidak diperlakukan seperti itu, padahal prilaku meraka telah menyengsarakan jutaan rakyat Indonesia. Sebenarnya, merekalah yang pantas mendapatkan perlakuan seperti menerpa anak punk. Pembinaan seperti dialami oleh anak punk alangkah tepatnya diberlakukan pada koruptor yang telah menyengsarakan seluruh Rakyat Indonesia.
Yang sangat miris lagi saat penegak hukum mengatakan penangkapan, penggundulan rambut dan direndam kedalam kolam tidak melanggar HAM. Hal ini seperti pernyataan Kapolresta banda Aceh, Armensyah Thai pada The Globe Journal. Sungguh sebuah pernyataan mengecewakan kita semua dalam membacanya, apakah beliau tidak membaca kitab Undang-Undang bagaimana yang disebut dengan melanggar HAM seseoarang? Saran saya sebagai warga Negara, pelajari dan baca kembali kitab Undang-undang tersebut dan kalaupun belum bisa memahami jangan malu-malu mendatangi ahlinya untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut.
Jelas-jelas mafia anggaran, mafia pajak dan pejabat yang korup merupakan musuh Negara yang harus dibasmi seperti hama tikus dalam sawah. Namun sekarang mereka masih tetap saja diperlakukan secara manusiawi. Bahkan ada yang mendapatkan fasilitas special dalam bui, sungguh ironis.
Padahal justru mereka (para koruptor) telah melanggar HAM seluruh rakyat Indonesia masih saja bisa menikmati hasil pajak rakyat dengan mudah dan masih saja bisa berkeliaran di Negara tercinta kita. Kalaupun ada yang di proses semua pelaku koruptor kelas teri, sedangkan kelas kakap masih belum tersentuh.
Kenapa anak Bangsa yang hanya mengekpresikan jiwa seni mereka dan tidak sedikitpun mengganggu ketertiban umum harus diperlakukan ibarat penjahat kelas kakap. Adilkah mereka mendapatkan perlakuan demikian?
Saya bertambah kaget dan sedih ketika mendengar cerita seorang teman yang berangkat ke Banda Aceh dari Bireun. Beliau mengisahkan bagaimana pengejaran anak punk yang melarikan diri dari tempat “penyiksaan”. Pengejaran layaknya sedang mengejar segerombolan penjahat yang melarikan diri. Karena pihak kepolisian di sare saat melakukan pengejaran memakai senjata lengkap, tidak tanggung-tanggung senjata yang dipakai adalah senjata laras panjang. Wallauhu’alam.
Mendengar cerita itu saya kembali teringat saat Densus 88 mengejar teroris di Aceh maupun luar Aceh. suasana demikian juga ada saat aceh masih dalam konflik bersenjata, pihak TNI sedang mengejar GAM yang dicap sebagai pemberontak. Bedanya hanya tidak dikerahkan mobil tank atau senjata berat.
Pertanyaan sekarang, apakah Anak Punk tersebut teroris atau pemberontak yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), atau mereka penjahat kelas kakap seperti borun para koruptor? Entahlah, Negara kita memang sudah menjadi Negara entah berantah
Diposting oleh
Nazruel D. Cokrow
Ⓐ
21.12.11
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Comment:
Posting Komentar