singa bersayap api menari-nari
di atas runtuhan candi
gerimis miris mengusir hari
pohon lontar kuyu pada basah air mata
jalan setapak berliku
dan berbatu itu
menuju ceruk kelabu jiwaku
aku tercekik udara dari kenangan
yang merambati liang pekat batu
ketika gugusan waktu memudar
pada serpih-serpih tembikar
singa bersayap api
terbang ke awang-awang
mengelabui bebayang
dan petang paripurna
dalam tarian kunang-kunang
tapi siapa menuntun ruhku
ke musim yang dijanjikan
musim penuh mawar putih-perak mekar
kau hanya termangu
ketika kata-kata meresap
ke lipatan senyap
kau menunggangi singa bersayap api
lalu lenyap
di balik ufuk penghabisan langit
matahari selalu memata-matai langkahku
di terik tanah gersang
bayang-bayangku lumer
bagai lelehan lemak babi
singa bersayap api siaga
menunggu di pintu retak candi
dan alangkah dungu
yang menerima nujuman itu
aku perlu sekerat aksara
atau seteguk arak
agar lepas dari kutukan cinta
dan liar birahi
tak perlu kau menjenguk
ke jalan setapak berdebu itu
sebab kau bukan lagi raga
yang menunggu pelepasan
kini kau anak singa bersayap api
kuku-kuku jari runcing
dan gerigi taring
telah terbentuk
saat ufuk mengantuk
dan sungai-sungai tidur
dalam kepedihan panjang kemarau
remah-remah waktu
berceceran sejauh perjalananmu
menggapai kesejatian
dan dimanakah aku kini?
aku yang menunggumu
dalam cengkeraman kelopak
dan sari bunga matahari
di kawasan ini hanya ada kaktus
yang memeram benih air
dalam kemalasan hari senja
sedikit rumput jawawut
akan menjaga kuburanku
tapi aku perlu alunan
lolong serigala
atau salak anjing kampung
yang kurus, kudis, kerempeng
anjing yang terbuang
yang melata di jalan-jalan sepi
penuh teluh dan kutukan
pada jauh tatap mata
yang sisa hanya keheningan
malam telah merambati atap langit
dan bulan yang rombeng
telah terusir ke barat
dimana kau menengadah
dan menadah sisa kenangan
sepanjang waktu, sejauh musim
ketika kau menjelma arca batu
yang memakan bunga-bunga
dan sari madu
yang dipersembahkan
gadis-gadis desa
berkebaya putih kafan
singa paling tua
menjilati tubuh molek-bugil gadis belia
yang menggelinjang dan meradang
pada ranjang keramat
yang nikmat
yang laknat
yang kiamat
singa paling muda
berputar-putar di udara kelabu
dipenuhi serbuk cahaya kekunang
ia ragu akan takdir dan birahinya sendiri
hanya menatap kuyu
pada payudara-payudara hampa
perawan belia
sebuah pesta di petilasan penuh lumut
tambur dan genderang bertalu
penari-penari tua menandak-nandak
di atas kuburan batu
kain disingkap hingga lutut
paha-paha layu
dalam rayuan malam
api cahaya biru berkedip-kedip
di sela-sela rambut terurai
lidah menjulur dengan percik-percik api
api dari birahi
api sakti
dari durga
yang akan menghanguskan aku
tanpa sisa
singa bersayap api menari di udara
mengaum ke dalam kelam cuaca
penari api mengangakan mulut
menadah liur singa bersayap api
aku menyembunyikan waktu
ke dalam lipatan daun sirih
pohon pandan menggeliat
di bening pagi
ke arah mana kini angin bertiup
sepasang serangga hutan
telah menuntaskan musim kawin
di telaga seroja penuh amis darah
baiknya kau minum seteguk arak
bersama para pengembara
yang riang mengarungi hari-hari sepi
yang telah menabur benih
di hutan-hutan basah hujan
yang terbiasa menanggalkan kenangan
di jalan-jalan sejauh kembara
arak akan menghangatkan
pembuluh nadimu
sebelum kau kembali menyusuri waktu
yang akan membawamu ke arah
istana kemilau singa bersayap api
tapi istana itu
berdiri anggun
pada kedalaman jiwamu
kaulah yang menandai setiap jejak
dari langkahmu sendiri
kaulah waktu dari muara waktu
dini dari sekelumit dini
senja dari semua senja
bunga dari benih bunga
yang disemai serangga
di taman-taman penghabisan
hayatku
sebuah altar akan terbangun
di tengah hutan yang terbakar
dan kau pemuja segala berhala
yang dikeramatkan para peziarah
yang terlunta di jalan terakhir takdir
singa bersayap api adalah restu abadimu
akar kota akan merambat dari hutan
yang dihuni liliput dan halimun
kota yang disangga laut raya
kota yang akan basah air mata
dan air ketuban kekasihmu
khianat dan kiamat perlahan menjalar
menuju jari-jari kakimu
kota akan terbakar
menjelang dinihari paling asing
singa-singa bersayap api meraung
menuntaskan birahi penghabisan
di atas tubuh ibumu
kau merayakan perjamuan kemarau
burung-burung yang bersiul murung
merontokkan bulu-bulunya
di atas puing-puing candi
jengkrik sembunyi dalam liang-liang dangkal
sepasang ular saling belit di belukar
duri-duri pandan masih terasa
menyusup di tapak-tapak kaki
para penari api kembali menandak-nandak
asap menyan, gaharu, cendana
berbaur bau bangkai
maut masih menghuni rongga hati,
daging busuk terlontar ke udara bertuba
di atas setra gandamayu
tapi kau keturunan singa bersayap api
matamu memeram bara masa silam
di timur kau anggapati
di selatan kau mrajapati
di barat kau banaspati
di utara kau banaspati-raja
beribu kutukan menjulur
dan menjalar
dari lidah apimu
membakar aksara-
aksara sukmaku !
(Ababi, Bali, Februari 2007)
http://jurnal-jengki.blogspot.com/2011/10/puisi-2007-singa-bersayap-api.html
0 Comment:
Posting Komentar