• MALANG KUçEçWARA‬ • MALANG NOMINOR SURSUM MOVEOR • MALANG BELONGS TO ME •

01 Oktober 2012

Kesaktian Pancasila atau Kesakitan Pancasila?

Satu Oktober, satu hari peringatan akan kehebatan
Satu kesaktian ideologi
Yang tetap berdiri dengan bayaran
Darah dan nyawa rakyat dan TNI
Empat puluh lima tahun berlalu
Sang ideologi tampak mulai renta
Kesaktiannya bagai dongeng dari masa lalu
Kesakitan lah yang kini tampak Ia derita
Ia sakit?
Tak mungkin, Ia bukanlah makhluk yang dapat sakit
Ia masihlah sakti!
Karena Ia tak pernah berumur dan tak akan mati
Ia memang sakti
Seperti nilai-nilai luhur yang Ia miliki
Tapi Ia sakit
Melihat pemiliknya berkata banyak tapi bertindak sedikit
Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa
Berkata tiada lagi yang disembah selain Tuhan
Tapi judi, miras, bahkan melacur dianggap hal yang biasa
Seolah itulah yang diajarkan oleh Tuhan
Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab
Nyatanya membuang hajat di halaman orang bagai orang biadab
Di negeri ini, maling semangka pasti mendapat keadilan
Tapi pemakan uang rakyat bahkan tak sampai ke pengadilan
Tiga, Persatuan Indonesia
Bermacam-macam tapi tetap satu jua
Faktanya, kerusuhan muncul dimana-mana
Dan wilayah-wilayah Indonesia hilang kemana-mana
Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan
Tapi dalam pengambilan keputusan atau kebijakan
Tak jarang hanya demi kepentingan segolongan
Lima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Seharusnya dibaca keadilan sosial bagi seluruh wakil rakyat Indonesia
Karena ketika gaji dokter PTT tertunda entah hingga kapan
Para wakil rakyat justru mendapat kemewahan
Ia memang sakti
Sakti seperti nilai-nilai luhur yang Ia miliki
Tapi hari ini Ia sakit
Sakit melihat pemiliknya berkata banyak tapi bertindak sedikit


Judul tulisan ini mungkin terasa sebagai cemooh yang tak pantas, atau kelakar yang tidak lucu, atau ungkapan sembrono yang hanya membikin marah atau jengkel sebagian orang, terutama para pendukung Suharto beserta rejimnya Orde Baru. Apa boleh buat, kalau begitu. Sebab, tulisan ini memang sengaja untuk mencemoohkan “Hari Kesaktian Pancasila”. Bahkan lebih dari itu! Tulisan ini dimaksudkan untuk menghujat – dan sekeras-kerasnya pula ! — apa yang dinamakan oleh para pendukung rejim militer Orde Baru sebagai “hari yang sakti”, yaitu tanggal 1 Oktober. Karena, apa yang dilakukan oleh Suharto dkk dan para pendukung Orde Baru umumnya selama 32 tahun lebih, adalah pelecehan Pancasila, pemalsuan Pancasila, perkosaan Pancasila, penghinaan Pancasila, penyalahgunaan Pancasila, penyelewengan Pancasila atau –- bahkan ! –pengrusakan Pancasila. Jadi, seperti yang sudah disaksikan sendiri oleh banyak orang, selama masa Orde Baru (sampai sekarang !) Hari Kesaktian Pancasila sama sekalibukanlah sesuatu yang “sakti” melainkan sesuatu yang “sakit”.
“Hari Kesaktian Pancasila” selama sekitar 40 tahun selalu diperingati di Lubang Buaya, berdekatan dengan “Monumen Kesaktian Pancasila”, yang didirikan oleh rejim militer Orde Baru untuk memperingati tewasnya 6 jenderal TNI sebagai akibat peristiwa G30S. Bahwa Suharto dkk memberi penghargaan kepada perwira-perwira yang menjadi korban dalam peristiwa G30S adalah suatu hal yang wajar dan kiranya bisa dimengerti oleh banyak orang. Namun, bahwa peringatan terhadap 6 jenderal yang tewas itu dijadikan ritual yang - dengan gagah tetapi salah — diberi nama “Hari Kesaktian Pancasila” adalah suatu kebohongan atau pemalsuan yang tidak boleh –dan tidak bisa!!! – ditolerir lagi oleh semua orang yang mempunyai fikiran jernih atau nalar yang sehat. Kita semua hendaknya tidak membiarkan terus para pendukung Suharto (rejim militer Orde Baru) berceloteh, atau membual, atau “omong gede” bahwa mereka menghargai Pancasila tetapi bersamaan dengan itu menjalankan hal-hal yang sama sekali bertentangan (bahkan, memusuhi !) dengan Pancasila-nya Bung Karno.
Mereka justru mengkhianati PancasilaPerlulah kiranya selalu kita ingat bersama bahwa sejak 1970 sampai jatuhnya Suharto (tahun 1998) peringatan hari lahirnya Pancasila (hari ketika Bung Karno menyajikan kepada seluruh bangsa Indonesia gagasan besarnya itu) dilarang oleh Kopkamtib. Jadi, lama sekali. Keterlaluan, bukan? Bagaimana mereka bisa koar-koar menjunjung tinggi-tinggi Pancasila, tetapi memusuhi penggagasnya, yaitu Bung Karno ! Sebab, kalau dilihat dari berbagai segi sejarah perjuangan bangsa, bisalah dikatakan bahwa Pancasila adalah satu dan senyawa dengan Bung Karno, atau Bung Karno adalah Pancasila itu sendiri. Artinya, Pancasila (yang asli !) tidak bisa dipisahkan dari Bung Karno, apalagi dipertentangkan, seperti yang sudah dilakukan Suharto beserta para pendukungnya.
Sekali lagi perlu diulangi bahwa seperti yang sudah sama-sama kita saksikan selama beberapa puluh tahun, para tokoh rejim militer Orde Baru sering sekali bicara muluk-muluk atau bersuara lantang tentang Pancasila dalam pidato-pidato atau tulisan mereka, tetapi dalam praktek menjalankan hal-hal yang sama sekali berlawanan atau bahkan bermusuhan dengan jiwa asli atau isi yang sebenarnya menurut gagasan penciptanya atau perumusnya, Bung Karno. Suharto dkk bicara tinggi-tinggi soal Pancasila, namun mereka malahan telah mengkhianati pencetusnya, menggulingkan kekuasaannya sebagai presiden, menahannnya sebagai tapol, dan membiarkannya sakit parah dan wafat dalam status sebagai tahanan.
Bukan itu saja! Sebagian terbesar politik dan praktek-praktek rejim militer Orde Baru (dengan penyokong utamanya Golkar dan militer) selama puluhan tahun tidaklah mencerminkan jiwa atau isi Pancasila, yaitu : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari pengalaman yang berpuluh-puluh tahun, nyatalah dengan jelas bahwa apa yang dilakukan Suharto dkk selama 32 tahun adalah penyelewengan (kalau bukan pembunuhan) jiwa agung dan tujuan luhur yang terkandung dalam Pancasila-nya Bung Karno.
Mereka tidak menyelamatkan negara melainkan “menjerumuskan” -nyaPeringatan “Hari Kesaktian Pancasila” adalah salah satu di antara banyak sekali praktek-praktek rejim militer Orde Baru (yang masih diteruskan sampai sekarang oleh para pendukung setianya) yang dimaksudkan sebagai usaha untuk terus-menerus menjatuhkan citra Bung Karno beserta para pendukung utamanya, yang terdiri dari golongan kiri pada umumnya, dan golongan PKI pada khususnya. Secara langsung atau tidak langsung, dan dengan berbagai jalan dan bentuk, digambarkan bahwa “Pancasila” mereka yang “sakti” telah menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari kesalahan-kesalahan Bung Karno yang “bersekutu” dengan PKI.
Padahal, seperti yang kita semua sama-sama saksikan, justru karena mereka telah menyalahgunakan, atau memalsu, atau melecehkan Pancasilanya Bung Karno itulah keadaan negara bangsa dan negara kita menjadi sangat semrawut dan bobrok sekali dewasa ini. Justru karena mereka (Suharto dkk) mengkhianati Bung Karno sebagai presiden dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang dan Pemimpin Besar Revolusi, maka mereka sama sekali tidak pantas – dan juga sama sekali tidak berhak !!! – untuk menggembar-gemborka n sebagai golongan yang menjunjung tinggi Pancasila dan “menyelamatkan bangsa dan negara”. Sebaliknya, seperti yang disaksikan oleh kita semua, perkembangan situasi di Indonesia sejak kudeta merangkak yang dilakukan Suharto dkk sampai sekarang menunjukkan dengan jelas bahwa justru mereka itulah yang telah menjerumuskan bangsa dan negara ke dalam jurang kebobrokan dan kebusukan.
Karena mereka telah memusuhi ajaran-ajaran atau gagasan besar Bung Karno, termasuk mencampakkan jiwa asli atau isi utama Pancasila hasil pemikirannya, maka negara kita sekarang berada dalam krisis yang multi-dimensional atau bersegi banyak. Di antara berbagai krisis atau persoalan besar yang dihadapi rakyat dan negara kita adalah : dikangkanginya asset negara yang penting-penting oleh kekuatan asing, kelumpuhan negara dan bangsa menghadapi neo-liberalisme, kerusakan moral atau iman di berbagai kalangan atas, rusaknya persatuan bangsa karena persoalan agama dan kesukuan, merajalelanya korupsi dimana-mana, hilangnya kepedulian atau kepekaan rasa terhadap kemiskinan sebagian terbesar rakyat, dibiarkannya pengangguran sampai beberapa puluh juta orang, merosotnya patriotisme atau nasionalisme kerakyatan.
Hari Kesaktian Pancasila” adalah anti-Bung Karno
Para pendukung Orde Baru menggembar-gemborka n “Hari Kesaktian Pancasila” dengan tujuan yang berlawanan sama sekali dengan gagasan besar dan otentik yang terkandung dalam Pancasila-nya Bung Karno. “Hari Kesaktian Pancasila” yang diselenggarakan di Lubang Buaya pada intinya adalah berjiwa atau berorientasi anti-Sukarno, atau anti-kiri umumnya, termasuk anti-PKI.
Dalam kaitan ini perlulah kiranya kita semua (termasuk orang-orang yang masih tertipu oleh Orde Barunya Suharto bahwa “Hari Kesaktian Pancasila” adalah sesuatu yang luhur dan mulia) mengerti dengan gamblang bahwa secara keseluruhan, Pancasila-nya Bung Karno adalah kiri. Dengan mengingat bahwa sejak mudanya ia sudah menerjunkan diri dalam perjuangan anti-kolonialisme Belanda dengan elan (semangat) revolusioner danjiwa NASAKOM, maka jelaslah bahwa ia menggagas Pancasila dalam tahun 1945 pun dengan latar-belakang fikiran kiri dan revolusioner.
Kalau kita cermati gagasan-gagasan Bung Karno yang besar dan progresif yang terkandung dalam kata-kata di Pancasila-nya:Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan, dan Keadilan sosial, maka kita semua bisa melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Suharto dengan Orde Barunya selama 32 tahun adalah betul-betul pengkhianatan besar-besaran terhadap Pancasila yang asli. Sebab, hanya orang-orang yang jiwanya tidak sehatlah yang masih bisa – atau masih berani !!! — mengatakan bahwa Orde Baru telah mempraktekkan Kemanusiaan yang adil dan beradab (harap ingat : pembantaian jutaan orang tidak bersalah dalam peristiwa 65, penangkapan ratusan ribu orang selama puluhan tahun, dan menyengsarakan terus-menerus, sampai sekarang, keluarga korban 65 yang puluhan juta orang jumlahnya).
Juga hanya orang-orang yang nalarnya rusak-lah yang terus-menerus mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru (dan semua pemerintahan yang berikutnya) telah dan sedang mentrapkan Kerakyatan, kalau kita ingat bahwa lembaga-lembaga negara (antara lain : DPR, DPRD, Mahkamah Agung, dan aparat birokrasi dikuasai oleh anasir-anasir korup dan bermental anti-rakyat) . Dan hanya orang-orang yang imannya sesatlah yang tidak segan-segan mengatakan bahwa semua pemerintahan pasca-Sukarno menjunjung tinggi-tinggi prinsip Keadilan sosial, kalau kita saksikan bahwa selama ini sebagian terbesar rakyat kita hidup di bawah 2 dollar sehari, sedangkan segolongan orang-orang sebangsa Tommy Suharto dan Tutut bergelimang dengan uang triliunan Rupiah.
Perlu kita sama-sama renungkan juga bahwa Bung Karno merumuskan sila pertama Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa) dengan pengertian agama (Islam, Katolik, Kristen dll) yang progresif, yang berkemanusiaan, yang adil dan beradab, yang menjunjung tinggi-tinggi kerakyatan dan keadilan sosial (jadi sama sekali berlawanan dengan praktek-praktek FPI atau ajaran golongan Islam fundamentalis Indonesia lainnya). Patutlah kita semua ingat bahwa Bung Karno sejak masih mahasiswa sudah terjun dalam gerakan Islam yang progresif atau kiri, anti-kolonialis, dan bersahabat dengan orang-orang komunis juga, karena ia anggap mereka sebagai kawan seperjuangan.
Apa yang dikemukakan di atas itu adalah untuk mengajak kita semuanya melihat bahwa “Hari Kesaktian Pancasila” yang diselengggarakan di Lubang Buaya itu sebenarnya atau pada intinya adalah hanya salah satu di antara banyak upaya sebagian golongan militer pendukung Suharto beserta sisa-sisa kekuatan Orde Baru lainnya untuk melanjutkan terus-menerus politik mereka yang salah selama ini, yaitu memerosotkan citra Bung Karno dan sekaligus memukul gerakan kiri, dan terutama PKI. Itu semuanya perlu mereka lakukan, untuk menutupi dosa-dosa mereka yang besar dan banyak sekali yang telah dilakukan sejak 1965.
Pancasila adalah pemersatu bangsa dan juga kiri
Bahwa jiwa asli Pancasila adalah kiri, baiklah disajikan ulang apa yang dikatakan oleh penggagasnya, Bung Karno, seperti yang dapat kita baca dalam dua jilid buku “Revolusi belum selesai”. Dalam buku tersebut dapat dibaca kumpulan pidato-pidato Bung Karno sesudah peristiwa G30S, yang banyak menyinggung masalah Pancasila. Berikut adalah satu bagian kecil sekali dari pidato beliau dalam sidang paripurna Kabinet Dwikora di Bogor pada tanggal 6 November 1965 (yaitu kita-kira sebulan lebih setelah terjadinya G30S, ketika para pembesar militer pendukung Suharto mulai menggunakan Pancasila untuk menyerang Bung Karno) : “Jangan kira, Saudara-saudara, kiri is alleen maar (keterangan : bahasa Belanda, yang artinya : hanyalah ) anti-imperialisme. Jangan kira kiri hanya anti-imperalisme, tetapi kiri juga anti-uitbuiting (penghisapan) . Kiri adalah juga menghendaki satu masyarakat yang adil dan makmur, di dalam arti tiada kapitalisme, tiada exploitation de l’homme par l’homme, tetapi kiri. Oleh karena itu saya berkata tempo hari, Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa ? Terutama sekali oleh karena di dalam Pancasila adalah unsur keadilan sosial. Pancasila adalah anti-kapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation de l’homme par l’homme. Pancasila adalah anti-exploitation de nation par nation. Karena itulah Pancasila kiri” (Revolusi belum selesai, halaman 77).
Dalam sidang pimpinan MPRS ke 10 di Istana Negara, 6 Desember 1965 (jadi dua bulan sesudah G30S) Bung Karno mengatakan :” Apakah tidak benar kalau saya berkata bahwa di waktu yang akhir-akhir ini, Pancasila dipergunakan sebagai satu barang an sich.Aku Pancasila! Maksudnya apa orang yang berkata demikian ini ? Aku antikomunis. Perkataan dipakai untuk sebetulnya men-demonstreer anti kepada Kom. Padahal Pancasila sebetulnya tidak anti-Kom. Kom dalam arti ideologi sosial untuk mendatangkan di sini suatu masyarakat yang sosialistis. Kalau dikatakan, ya aku Pancasila, tetapi dalam hatinya anti-Nasakom. Pancasila dipakai untuk mengatakan aku Pancasila, tetapi aku anti-Nas. Aku Pancasila tetapi aku anti-A.
Pancasila adalah pemersatu, adalah satu ideologi yang mencakup segala. Dan aku sendiri berkata, aku ini apa? Aku Pancasila. Aku apa ? Aku perasan daripada Nasakom. Aku adalah Nasionalis, aku adalah A, aku adalah sosialis, kataku. Tetapi banyak orang memakai Pancasila ini sebagai hal yang anti.” (Revolusi belum selesai, halaman 217).
Pancasila-nya Bung Karno perlu kita angkat kembaliMengingat itu semuanya nyatalah bahwa « Hari Kesaktian Pancasila » yang diselenggarakan di Lubang Buaya (dan di tempat-tempat lainnya di Indonesia) adalah sebenarnya bertentangan sama sekali dengan jiwa asli Pancasila-nya Bung Karno dan ajaran-ajaran besarnya yang lain. Karena itulah tulisan ini sependapat dengan usul atau fikiran yang sudah mulai muncul supaya ritual yang hanya menyebar racun persatuan bangsa ini ditiadakan atau dihapuskan saja untuk selanjutnya. Tetapi, kalau sisa-sisa Orde Baru masih mau tetap mengadakannya, ada juga baiknya ! Sebab, seperti halnya diaporama beserta « Monumen Pancasila, » -nya, akhirnya itu semua akan merupakan boomerang bagi mereka, karena banyak orang (terutama generasi yang akan datang) akan bisa melihat dengan jelas kebohongan dan tujuan yang tidak luhur yang dikandungnya. Diaporama dan segala macam monumen yang didirikan oleh rejim militer ini pastilah akan menjadi “senjata makan tuan” bagi mereka sendiri.
Jadi, kita semua melihat bahwa Pancasila sudah dikotori atau dibikin busuk seperti comberan (dan memuakkan!) oleh Suharto dan konco-konconya selama puluhan tahun dengan macam-macam praktek (antara lain indoktrinasi paksaan Penataran “Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”, dan cekokan berupa seminar atau rapat-rapat dll). Karenanya, sudah banyak orang yang bukan saja membenci Suharto dengan Orde Barunya, melainkan juga tidak menghargai Pancasila lagi.
Karenanya, adalah tugas kita bersama dewasa ini, dan untuk selanjutnya, untuk mengangkat kembali Pancasila dari comberan yang dibikin oleh rejim militer Suharto. Pancasila-nya Bung Karno perlu kita junjung tinggi-tinggi, kita kumandangkan lagi, dan kita dudukkan di tempat yang luhur dan mulia sebagaimana mestinya, sebagai pemersatu bangsa yang berjuang untuk masyarakat yang betul-betul demokratis, adil dan makmur.

Tepat hari ini, tanggal 1 Oktober 2012, kembali kita bangsa Indonesia ngerayain sebuah acara yang bisa dikatakan sekedar seremonial kenegaraan yang dikenal dengan Hari Kesaktian Pancasila, yang udah 52 tahun di rayain turun-temurun oleh bangsa kita sejak pemberontakan G30S/PKI yang masih harus di-uji kebenaran-nya, apakah itu ulah PKI saja atau emang ternyata di-dalangi oleh orang-orang dari bangsa ini sendiri. Dan, apa emang saat ini Pancasila itu masih sakti? Seperti-nya sih tidak !!!. Terlepas dari makna kesaktian Pancasila itu sendiri.
Kalau menurut aku saat ini (CMIIW), ternyata Pancasila itu sedang sakit keras™ bahkan juga mungkin sedang sedih dengan keadaan yang lagi terjadi di negara kita ini. Kalau kita telusuri dan pelajari, tiap isi dari Pancasila memiliki makna yang sangat dalam kalau emang kita menghayati-nya apalagi kalau emang kita ngelaksanain-nya sesuai dengan yang dirumusin oleh pahlawan-pahlawanbangsa di tahun 45 dulu, tapi kenyataan-nya saat ini, semua itu non sense™, semua itu bohong, dan aku berani pastiin bahwa hampir seluruh komponen bangsa ini, ya pemerintah-nya, ya rakyat-nya juga tidak berjalan di atas dasar negara yaitu Pancasila yang seharus-nya.
Kalau kita men-coba meng-konfrontasi-kan isi dari Pancasila itu sendiri dengan keadaan pada saat ini, maka kita akan menemukan banyak sekali kejanggalan-kejanggalan
Ketuhanan Yang Maha Esa
Ya, benar bangsa ini bisa dikatakan sebagai bangsa beragama, bangsa yang percaya akan satu Tuhan. Tapi apa semua itu menjamin kehidupan beragama di Indonesia ini baik, ternyata tidak. Masih ada yang menganggap bahwa hanya agama-nya atau Tuhan-nya saja yang paling benar, dan dengan mudah-nya menyalahkan agama lain-nya bahkan kalau bisa meng-hancurkan-nya, padahal kalau di tarik satu garis lurus, semua berujung pada satu Tuhan Yang Maha Esa, dimana tidak ada satu agama-pun di dunia ini, apalagi di Indonesia ini yang bisa menjamin bahwa hanya agama tertentu saja yang benar, dan Tuhan-nya yang benar. Tapi itu lah fakta yang terjadi saat ini.
Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Kata adil yang dalam bahasa Inggris yang arti-nya Justice, memiliki arti seperti berikut:
justice.gif
Dan kata ber-adab yang dalam bahasa Inggris ber-sinonim denganGenteel, artinya seperti berikut:
genteel.gif
Dari kedua arti kata-kata tersebut diatas, aku menyimpulkan bahwaKemanusiaan Yang Adil itu adalah suatu bentuk tindakan yang seharus-nya benar terhadap keseimbangan yang hakiki atas semua aspek-aspek yang berhubungan dengan kemanusiaan. Dan Kemanusiaan Yang Beradab itu adalah kulturalisasi bangsa yang memiliki sifat menghargai sesama, memiliki budi bahasa yang halus dan tidak kasar, dan bisa menerima perbedaan-perbedaan yang ada disekitar kita.
Tetapi, kita bisa pastikan bahwa ke-manusiaan yang adil di Indonesia ini hampir menuju ke persentase 0%, karena masih banyak sekali pemaksaan-pemaksaan kehendak yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggung-jawab dan penekanan-penekanan secara fisik dan moral terhadap yang lemah tidak ubah-nya seperti di hutan. Dan sial-nya banyak dari kita hanya tutup mata melihat ke-tidak adil-an itu.
Bagaimana dengan ke-manusiaan yang ber-adab?. Setiap orang mengaku-ngaku, berkoar-koar bahwa dia adalah manusia ber-adab; manusia yang tahu sopan santun; manusia yang tahu etika; dan manusia yang bisa menghargai sesama-nya; makhluk yang paling tinggi derajat-nya dari makhluk apapun di dunia ini. Tapi, kenyataan-nya tidak sama sekali, bahkan banyak diantara kita yang dengan tega menghina dan menginjak-injak keber-adab-an dan hak asasi orang lain.
Persatuan Indonesia
Saat ini aku melihat begitu banyak-nya perpecahan-perpecahan diantara bangsa sendiri, hanya karena masalah kepentingan segelintir orang dan golongan, dan ini mengakibatkan kegelisahan bagi seluruh rakyat, mereka merasa jadi korban ketika orang-orang dan golongan-golongan tersebut berperang satu sama lain, saling membenarkan kepentingan-nya masing-masing. Seperti-nya Persatuan Indonesia itu sedang rapuh, yang gampang pecah kapan saja. Apa masih kurang Timor Leste yang sudah terpisah dari Indonesia? Aku tidak bisa membayang-kan jika seandainya,Nanggroe Aceh DarussalamPapuaMaluku pada akhir-nya harus lepas juga dari bumi nusantara ini.
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Apakah saat ini suara rakyat sudah di-dengar-kan oleh petinggi-petinggi itu, yang kebanyakan bisa duduk disitu karena uang? Bukan karena dia, atau mereka memiliki hikmat kebijaksanaan yang sesungguh-nya. Bahkan bukan tidak mungkin lebih bodoh dari aku, kamu, atau kita. Bagaimana Indonesia ini bisa memimpin rakyat-nya, kalau faktor kelicikan masih membayang-bayangi setiap keputusan-keputusan yang diambil yang secara hakiki berhubungan langsung dengan nasib rakyat?
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Kemiskinan, gelandangan dan pengemis yang berkeliaran, rakyat yang makan nasi aking, antrian minyak tanah, penggusuran di-mana-mana, berbanding terbalik dengan rumah-rumah megah yang berdiri dengan angkuh-nya, mobil-mobil mewah yang berseliweran di jalanan Indonesia, mall-mall dan rumah-rumah ibadah sebagai ajang pamer gengsi, apakah ini yang dinamakan keadilan sosial? apakah keadilan sosial itu sudah terpenuhi? atau-kah kita yang salah mengartikan arti yang sebenar-nya dari keadilan sosial? :cry:
Oke, jadi sekarang kita yang harus memutuskan apakah hari ini, tepat tanggal 1 Oktober 2007 bisa dikatakan sebagai
Hari Kesaktian Pancasila, atau Hari Kesakitan™ Pancasila
Silahkan menjawab dengan pikiran kita sendiri, tidak ada pemaksaan dalam hal ini, semuanya hanya wacana saja, tapi sebaik-nya ini tidak hanya di otak kita saja, tapi kita harus laksana-kan, kita harus hargai, dan kita harus buktikan bahwa emang kita bangsa yang ber-dasar-kan Pancasila sebagai dasar negara kita.
1 Oktober  selalu diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Seperti tahun-tahun sebelumnya, masyarakat Indonesia diajak untuk memperingatinya dengan melakukan upacara bendera. Presiden juga memimpin upacara di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta. Agar tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, dimana Hari Kesaktian Pancasila diperingati hanya dengan ritual upacara bendera —sebuah ritual tanpa makna— saya ingin mengajak teman-teman untuk berpikir sejenak tentang Pancasila kekinian.
Mari kita kembali melihat apa yang tercatat di buku sejarah kita. Tanggal 30 September 1965, PKI melakukan kudeta. Tujuan kudeta ini adalah merebut pemerintahan yang sah dan mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi komunisme-sosialisme. Namun, kudeta yang dilakukan oleh PKI  ini dapat digagalkan. Ideologi Pancasila pun masih menjadi dasar negara Republik Indonesia. Peristiwa ini akhirnya berbuntut pada jatuhnya Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno. Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto, Pancasila sebagai dasar negara dijadikan landasan ideal dan hukum Rencana Program Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan panjang. Terbentuklah program Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalam Pancasila atau yang biasa disebut program P4.
Selama 32 tahun, ternyata Pancasila dijadikan ‘alat politik kekuasaan’ oleh pemerintahan Orde Baru. Kesuksesan pembangunan ekonomi hanyalah kamuflase atas kesenjangan sosial, krisis ekoonomi, krisis kepercayaan, krisis politik dan utang luar negeri yang membengkak. Akhirnya Orde Baru pun dilengserkan oleh mahasiwa pada Mei 1998.
Kebijakan pemerintah Orde Baru yang menetapkan Pancasila sebagai dasar program pemerintah saat itu (program P4 terutama), sebenarnya sudah baik. Namun, pada kenyataannya Pancasila ditanamkan ke generasi berikutnya sebagai sebuah literatur yang harus dihafalkan. Sebuah tulisan yang terdiri dari 5 poin yang tercetak di buku-buku PKn atau Sejarah. Ideologi yang diteruskan lewat doktrinisasi. Sebuah ideologi tanpa makna.
Hari Kesaktian Pancasila sendiri ditetapkan oleh seseorang yang di kemudian hari kita tahu telah banyak melakukan pelanggaran terhadap Pancasila itu sendiri. Pembunuhan aktivis Munir, penjeblosan aktivis-aktivis mahasiswa ke penjara karena menentang kebijakan pemerintah, dan beberapa pelanggaran HAM lainnya, yang dilakukan oleh pemerintah saat itu telah mencoreng nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Penetapan peringatan Hari Kesaktian Pancasila saja menurut saya agak berbau politis. Kenapa ditetapkan pada tanggal 1 Oktober, setelah peristiwa G30S? Kalau memang tujuannya adalah untuk memperingati bahwa Pancasila sebagai ideologi ternyata lebih kuat dari ideologi manapun, Soekarno juga mengatakan hal yang sama, jauh sebelum peristiwa G30S. Soekarno mengatakannya dalam sidang BPUPKI, setelah ditanya oleh Ketua Dr. Radjiman Wediodiningarat. Lalu, kenapa bukan ditetapkan pada tanggal 1 Juni saja peringatan Hari Kesaktian Pancasila?Toh, saat itu Soekarno juga mengatakan bahwa Pancasila berada di atas nilai-nilai komunisme dan sosialisme.
Di tahun 2012, masih saktikah Pancasila? Masihkah kita menjunjung Ketuhanan Yang Maha Esa, dan memberikan kebebasan untuk beragama sesuai keyakinannya? Masihkah masyarakat kita mencerminkan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab? Atau kalimat tanyanya diganti: masih beradabkan masyarakat Indonesia? Masih adakah persatuan antar suku, agama, ras dan golongan? Sudahkah tercipta keadilan yang merata di negeri ini?
Seorang teman, dalam statusnya di jejaring sosial, menyebut hari ini merupakan hari kesaktian pancasial. “Hari Kesaktian PancaSial. Lima kesialan yang melanda negri ini: (1) Lupa akan Tuhan yang Esa sehingga rela “membunuh” sesamanya sendiri atas nama Tuhan; (2) Tak peduli akan nasib orang lain apalagi harkat dan martabatnya; (3) Persatuan telah berubah maknanya dari bermacam-macam tapi satu menjadi satu tapi bermacam-macam; (4) Kepemimpinan yang absurd tak jelas arah kepemimpinannya; (5) Keadilan yang tidak pernah merata..” Sebuah kenyataan sosial yang saat ini terjadi.
Masihkah perlu kita peringati hari ini kalau masih banyak umat yang sulit menjalankan ibadahnya karena tidak diperbolehkan oleh umat agama lain? Masih perlukah kita peringati hari ini kalau masih banyak pembunuhan yang mengatasnamakan agama? Masih perlukah kita peringati hari ini kalau para wakil rakyat kita melestarikan budaya korupsi? Masih perlukah kita peringati hari ini kalau keadilan sosial hanya dialami oleh sebagian kecil masyarakat bangsa ini? Atau jangan-jangan, peringatan hari ini hanyalah sebuah selebrasi kalau pernah ada pencorengan Pancasila yang dilakukan para pemimpin negeri ini? Sebuah selebrasi untuk memaklumi kalau pelanggaran terhadap Pancasila pernah dan boleh dilakukan?
Bagi saya, Pancasila harga mati. Sebuah nilai luhur bangsa yang perlu diwariskan. Sebuah gagasan dari para pendiri bangsa ini. Namun, Pancasila harus bertransformasi untuk bisa menyesuaikan diri. Pancasila harus bisa menjadi nilai yang dipegang oleh masyarakat, tanpa harus ada proses doktrinisasi. Semua masyarakat harus mengakui, mengamini, dan melaksanakan nilai-nilai Pancasila, tanpa paksaan. Pancasila saat ini sedang tertidur karena sakit. Sakit akibat perlakuan pemerintah dahulu. Tugas kita sekarang untuk merawatnya, membangunkannya kembali, dan mengajaknya untuk berproses bersama dengan bangsanya.




sumber: