• MALANG KUçEçWARA‬ • MALANG NOMINOR SURSUM MOVEOR • MALANG BELONGS TO ME •

24 Agustus 2014

SEBUAH PERADABAN DARI ‘BAWAH TANAH’ KOTA MALANG [PART 1]

Sebuah Peradaban Dari Bawah Tanah Kota Malang [1]


ian antono
Benarkah kota Malang sudah rock & roll sejak tempo doeloe? Seperti apa iklim scene musik dan komunitas penggemar musik keras di wilayah lokal pada jaman baheula? Siapa saja pionir yang bertanggungjawab atas ‘kecadasan’ di kota dingin ini? Ini catatan historis tentang perkembangan budaya musik cadas dan komunitasnya di kota Malang. Halaman pertama dari peradaban lokal seni musik dan revolusi rock & roll yang masih terus bekerja…

Periode Pemecah Es [1970-an]


Sebenarnya benih-benih rock & roll di kota Malang sudah muncul sejak awal era ’60-an, ketika bocah berusia sebelas tahun, Abadi Soesman, untuk pertama kalinya membentuk grupband bernama Irama Abadi, 1 April 1960. Masyarakat dunia saat itu sedang dihinggapi wabah musik rock & roll yang dipelopori oleh Elvis Prestley, Chuck Berry, dan The Beatles. Trend tersebut menyeberang ke Indonesia dan ikut meracuni selera anak-anak muda negeri ini.
Namun seperti yang kita ketahui, memainkan musik rock pada era orde lama masih dianggap tabu. Bentuk kesenian yang kebarat-baratan sangat dibatasi geraknya. Para musisi dan seniman otomatis susah berkembang serta makin terpojokkan. Rezim pemerintah terus mendorong masyarakat untuk menjauhi musik rock. The Beatles dilarang, bahkan Koes Plus dipenjara. Rambut panjang diharamkan, dan musik rock disebut ‘musik setan’.
Anak-anak muda yang berniat untuk main musik dicap tidak punya masa depan. Mereka hampir selalu dilecehkan oleh para generasi tua, terutama calon mertua. “Dulu, pemusik adalah derajat paling rendah, dan sedikit naik tingkat setelah heboh narkoba,” ungkap Abadi Soesman ketika diwawancarai Kompas, November 2006 lalu.
Malang hanyalah kota kecil yang jauh dari gemerlap industri musik seperti halnya Jakarta. Banyak remaja yang ingin sekedar main band, namun terganjal pada sarana alat musik yang mahal dan terbatas. Beberapa grup musik baru bisa berlatih dan manggung setelah didanai oleh perusahaan besar. Sebut saja nama Bentoel band atau Oepet band, yang disponsori pabrik rokok terbesar di Malang. Sejumlah band lainnya seperti Zodiak, Panca Nada, Arulan, atau Swita Rama, rata-rata juga milik perusahaan tertentu. Iklim bermusik seperti itu dirasa cukup menyedihkan serta kurang menjanjikan bagi para musisi lokal.
Selera kuping arek-arek Malang pada jaman dulu tidak pernah bergeser jauh dari genre musik keras – mulai dari yang bernuansa hardrock, slowrock, folk-rock, art-rock atau psychedelic rock sekalipun. Komposisi musik seperti yang dimainkan Led Zeppelin, Genesis, Rolling Stones, Janis Joplin, The Doors, Uriah Heep, Yes, Deep Purple, Rainbow, Pink Floyd, Rush, atau Queen adalah beberapa nama paten yang sangat digilai anak muda Malang.
“Dulu semua band di Malang memang rock. Saya dan Ian Antono punya filosofi yang sama, dan kami bersatu karena musik rock,” tutur Abadi Soesman seraya menyebut nama salah satu legenda musik rock kelahiran Malang yang paling terkenal hingga sekarang.
Ian Antono lahir di Malang, 29 Oktober 1950, dengan nama asli Yusuf Antono Djojo. Sewaktu kecil ia sempat memegang instrumen ketipung dalam suatu band bocah beraliran melayu. Ian yang saat itu menyukai lagu-lagu dari The Shadows atau The Ventures, kemudian memperkuat band keluarga Zodiacs bersama kakak-kakaknya.
Pada tahun 1969, Ian hijrah ke Jakarta bersama Abadi Soesman dan bermain musik di Hotel Marcopolo. Dua tahun kemudian ia kembali ke Malang untuk bergabung dengan band Bentoel sebagai pemain drum, yang lalu beralih ke gitar. Saat itu ia mengaku terpengaruh oleh Deep Purple, Alice Cooper, Jethro Tull, Edgar Winter, dan James Gang – serta meniru segala gaya mereka mulai dari penampilan fisik, kostum, aksi panggung, bahkan sampai ke cara bermusiknya.
Bentoel kemudian menjadi salah satu kelompok musik rock yang paling populer di kota Malang. Barisan yang dimotori vokalis Micky Jaguar dan drummer Ian Antono itu terkenal eksentrik dan selalu penuh kejutan. Pada tahun 1972, mereka diundang tampil membuka konser Victor Wood di Gelora Pancasila, Surabaya. Dalam kesempatan tersebut, Micky Jaguar melakukan atraksi panggung yang sensasional. Sembari menyanyikan lagu John Barlecon [Traffic], ia menyembelih seekor kelinci dan meminum darahnya. Gara-gara atraksinya itu, ia terpaksa berurusan dengan pihak berwajib.
Sayangnya Bentoel tidak berumur panjang dan tidak sempat merekam apa-apa. Pada tahun 1974, Ian Antono diminta Ahmad Albar untuk kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Godbless. Di kelompok itu, Ian mulai coba-coba menulis lagu dan menata musik untuk album Huma di Atas Bukit [1976]. Baginya, ada semacam proses transformasi dari sekadar bermain menuju ke tahap penciptaan. Hingga kemudian nama Ian Antono juga dikenal sebagai penulis lagu dan penata musik untuk sekitar 400-an lagu yang dimainkan Godbless, Duo Kribo, Ucok Harahap, Nicky Astria, Iwan Fals, Anggun Cipta Sasmi, hingga Grace Simon.
Sementara itu, bubarnya Bentoel memaksa vokalis Micky Jaguar bergabung dalam Ogle Eyes, grup musik yang juga diperkuat oleh mantan personil Giant Step [Bandung], keyboardist Jocky Soerjoprayogo dan drummer Sammy Zakaria. Ia juga sempat memulai karir solonya dengan merekam album bertitel Metropolitan [Prawita records]. Pada rilisan tersebut, ia berduet dengan Sylvia Saartje di lagu yang berjudul Wanita. Saat ini, kaset solo Micky Jaguar menjadi barang langka dan collector item yang bernilai tinggi.
Nama sang ladyrocker, Silvia Saartje, tentu cukup populer bagi penggemar musik rock lokal. Penyanyi rock kelahiran Arnheim [Belanda] yang bermukim di Malang ini sempat tenar lewat singel Biarawati ciptaan Ian Antono. Di kala manggung, perempuan ini selalu memakai kostum yang agak seronok dan menghebohkan. Salah satu pentasnya yang paling diingat publik Malang adalah ketika membantu Elpamas dalam mengkover lagu Pink Floyd yang terkenal sangat rumit, The Great Gig In The Sky. Selama karirnya, Sylvia Saartje telah menelurkan tujuh buah rekaman. Ia juga sempat tampil sebagai penyanyi dalam film Kodrat garapan Slamet Raharjo. Beberapa tahun terakhir ini, namanya terkadang masih mondar-mandir mengisi program musik rock dan blues di sebuah stasiun televisi.
Selama era ’70-an, beberapa musisi lokal mulai terpikir untuk hijrah ke ibukota. “Dulu, Jakarta itu seperti luar negeri,” kenang Abadi Soesman. Sebagai pusat industri, Jakarta memang menarik dan lebih terbuka bagi peluang karir di bidang musik. Mitos klasik bahwa musisi daerah kalau ingin sukses musti hijrah ke ibukota memang tidak bisa dipungkiri, dan hampir benar adanya. Sentralisasi industri musik nasional malah cenderung melanggengkan keabsahan rumus yang terkadang masih berlaku hingga sekarang itu.
Sementara evolusi rock & roll di kota Malang terus berjalan. Band-band baru bermunculan dari berbagai ajang festival dan parade musik lokal. Aksi mereka juga selaras dengan kebiasaan band rock nasional generasi awal – seperti Cockpit [Jakarta], Trencem [Solo] Godbless [Jakarta], Giant Step [Bandung] atau AKA/SAS [Surabaya] – yang lebih sering membawakan karya lagu musisi luar dan cenderung malas menulis lagu sendiri. Makanya hanya sedikit sekali rekaman album bahkan sekedar demo yang dirilis pada jaman itu.
Selera pasar dan kebiasaan musisi yang terlalu ‘memuja band asing’ itu akhirnya memberi imbas di setiap pertunjukan musik. Penonton hampir selalu menuntut band yang tampil di panggung untuk bermain ‘persis kaset’ istilahnya. Mereka hanya ingin mendengar lagu favoritnya dan tidak peduli pada lagu ciptaan musisi lokal. Akibatnya, hanya sedikit band yang mau menulis dan mengusung karya ciptaannya sendiri. Selebihnya tidak ada jalan lain kecuali tampil sempurna membawakan lagu kover yang jadi favorit penonton.
Kondisi di atas membuat sejumlah band lokal menjadi band spesialis yang identik dengan band asing panutannya. Misalkan saja Micky Jaguar layaknya seorang Mick Jagger dengan gaya urakan ala Ozzy Osbourne. Bahkan Sylvia Saartje sempat dianggap titisannya Jonis Joplin. Hingga musisi yang lebih yunior macam Elpamas yang hanya akan mendapat aplaus jika membawakan komposisi dari Pink Floyd.
“Wah, sejak dulu Malang itu kota yang paling ditakuti ama band-band Jakarta. Penontonnya kritis, salah dikit aja langsung ditimpukin!” ujar Jaya, gitaris grupband Roxx yang sempat ditemui penulis saat event Soundrenaline 2004 di Stadion Gajayana Malang. “Malah dulu belum layak disebut rocker kalo belum pernah konser di Malang. Emang terbukti, aura rock-nya masih terasa banget sampe sekarang!”
Sudah banyak kisah musisi rock lokal maupun nasional yang coba ‘menaklukan’ hati dan telinga penonton Malang yang terkenal agak liar dan suka rusuh. Sebagian memang cukup berhasil, namun lebih banyak di antaranya yang gagal total. Band yang tidak mampu memuaskan penonton akan sangat beruntung jika hanya mendapat cemooh dan caci-maki saja. Sebagian malah bernasib lebih buruk, menerima lemparan benda-benda aneh dari penonton dan dipaksa turun dari panggung.
Sejak era ’70-an, tempat pertunjukan [venue] yang sering dipakai ajang konser rock adalah GOR Pulosari yang terletak di bilangan jalan Kawi. Desain arsitektur gedung tersebut cukup unik dan sangat ‘bawah tanah’ sekali. Venue itu dibangun pada cerukan tanah yang dalam, serta dikelilingi tribun kayu yang mengelilingi panggung besar di bawahnya. Konstruksi seperti itu menjadikan GOR Pulosari sebagai hall yang kedap suara, serta dianggap memiliki akustik yang cemerlang untuk sebuah pertunjukan musik. Sejumlah nama mulai dari Panbers, Trencem, Bentoel, Cockpit, Sylvia Saartje, hingga Godbless sudah pernah menjajal GOR Pulosari yang dikenal sangat prestisius untuk konser musik rock.
Cockpit termasuk band yang sempat mendulang histeria massa ketika tampil di Pulosari. “Wah, dulu kalo Cockpit manggung bawain lagunya Genesis, vokalis Freddy Tamaela gak perlu nyanyi lagi, sebab penonton satu gedung udah nyanyi semua saking hapalnya!” cerita beberapa orang lawas yang pernah mengalami serunya pertunjukan musik lokal tempo doeloe. Di lokasi yang sama, Micky Jaguar pernah meminum darah kelinci dan langsung ditahan aparat begitu turun dari panggung. Boleh dibilang, manggung di GOR Pulosari bisa menjadi pengalaman terbaik atau yang terburuk bagi setiap musisi manapun.
Angkernya venue yang berkapasitas 5000 penonton itu juga diamini oleh Viva Permadi alias Wiwie GV, seorang musisi/aranjer asal Malang. Dalam wawancaranya dengan Kompas [12 November 2006], ia menganggap GOR Pulosari ibarat pengadilan publik untuk menilai sukses atau tidaknya sebuah band ketika manggung. Ia terkenang sewaktu Godbless manggung di sana pada tahun 1979. Penonton ketika itu tidak puas dengan penampilan Ahmad Albar dkk. Mereka lalu mengamuk dan melempar apapun ke arah panggung. Akhirnya ia mengambil kesimpulan, kalau sebuah band pentas di Malang sampai tidak rusuh, berarti grupband itu berhasil.
Pada dasarnya, dekade ’70-an telah mencatat suatu babak awal yang seru dari evolusi rock & roll di kota Malang. Munculnya berbagai aktifitas band dan musisi rock, pertunjukan musik, penonton konser yang seru [dalam konotasi yang aman maupun rusuh!], atau sekedar hura-hura urakan ala anak muda telah membuka wacana baru bagi masyarakat awam. Perlahan, publik mulai mengenal konsep ‘rock & roll’ baik secara musikal, penampilan, maupun pola pikir. Stigma dan dogma kuno telah mencair. Atau mungkin akan membatu kembali dalam suasana yang lebih baik di masa yang selanjutnya…
 
[Samack]
Foto & gambar diambil dari netz & dok Solidrock.


Tulisan ini adalah bagian dari proyek dokumentasi scene rock Malang yang dikerjakan oleh Solidrock. Beberapa data dan kutipan diambil dari Kompas Cyber Media. Oke, nantikan artikel selanjutnya [era 1980-an] yang akan tayang dalam waktu dekat. Simak root-nya, mungkin anda bisa belajar dari sejarah!…
 
SUMBER:https://apokalipwebzine.wordpress.com/2010/07/16/sebuah-peradaban-dari-bawah-tanah-kota-malang-1/

0 Comment:

Posting Komentar