13 Juli 2011
Aturan: Pengatasnamaan atas Penindasan
“Ini bukan peraturan. Kami dipaksa setuju dengan peraturan yang tidak kami sepakati. Hak kami sebagai manusia dimainkan oleh intelektual-intelektual busuk bertopeng politik. Kekuasaan mereka secara absolut menentukan pikiran dan suara hati kami untuk harus sama seperti mereka. Lihat kami yang sengasara di bawah kaki otoritas mereka. Hanya jadi boneka. Ditiupkan janji-janji manis ketika pemilu tiba. Dijadikan alasan ketika mengambil apa yang mereka sebut kebijakan padahal menurut kami itu kesewenang-wenangan. Dilupakan ketika mereka duduk di kursi empuk istana-istana. Kami tertindas. Dan kami akan melawan. Berontak. Membuat aturan kami sendiri yaitu TANPA ATURAN.”
Realitas yang nyata jika kehidupan kami, petani, nelayan atau rakyat miskin lain masih hidup di bawah garis kesejahteraan yang seharusnya mereka bisa dapatkan. Kenapa? Karena kami semua hanya jadi alat kampanye politisi-politisi busuk. Kami semua akan tetap dimiskinkan agar masih ada kesempatan bagi mereka untuk mengeruk keuntungan dari kemiskinan. Aturan-aturan yang mereka buat tidak lain adalah cerminan keberpihakan mereka pada kapitalisme dan korporasi yang menyedot bumi kami dan kami sendiri! Tidak ada yang pro dengan kami, petani, nelayan ataupun rakyat miskin lainnya. Hanya kamuflase. Tapi klaim mereka benar-benar telah membodohi masyarakat. Mereka meyebut itu peraturan itu adalah suara kami, orang-orang tertindas padahal itu adalah suara perut mereka yang lapar akan harta dan kekuasaan. Kami telah dijual kepada kekuasaan yang semu oleh mereka yang dahaga akan kekuasaan itu sendiri. Mengorbankan kami yang sama-sama manusia. Apakah mereka masih dapat di sebut manusia?
Demokrasi yang begitu mereka agung-agungkan pada kenyataannya tidak pernah berasal dari rakyat dan kembali kepada rakyat. Itu semuanya isu yang diangkat untuk mecari pembenaran atas yang mereka lakukan. Peraturan yang berwujud undang-undang, mereka sebut itu adalah keinginan rakyat. Keinginan rakyat yang mereka wakili atau yang mereka tipu. Rakyat yang mana? Hanya kaum borjuis yang memiliki kepentingan dengan itu dan meski menyengsarakan kami tetap diabaikan. Karena demokrasi perwakilan hanyalah kebohongan besar dan penipuan sosial. Cuma topeng untuk memperkaya diri. Demokrasi yang katanya menuruti suara terbanyak hanyalah sampah belaka. Meski kami menjadi mayoritas tapi kami tak pernah dianggap memiliki hak yang sama dengan kaum borjuis. Sebagian dari kami tetap dibodohkan oleh sekolah-sekolah kapitalis, penjiplakan dan doktrinisasi dan ada pula yang tidak diberi kesempatan untuk mengecap pendidikan yang layak agar mereka bisa membeli sebagian dari kami tersebut sewaktu-waktu mereka butuh. Dan untuk bertahan hidup sebagian dari kami itu terpaksa terbeli. Sungguh kejam mempersamakan manusia dengan barang yang bisa diperjualbelikan.
Klaim-klaim dari lembaga-lembaga survey bayaran mereka jadikan data bahwa kami sudah terangkat kesejahteraannya. Angka-angka di atas kertas yang bisa dikarang oleh siapapun terus dipertontonkan seolah-olah ingin membuktikan bahwa kebijakan mereka berhasil. Angka-angka palsu itu dinamakan kesejahteraan kaum kami ini. Merendahkan martabat kami sebagai manusia yang memiliki harga diri. Hasil survey-survey tersebut seakan meminta tidak perlu ada demonstrasi menentang mereka karena mereka telah sukses. Faktanya, masih banyak saudara kami yang makan hanya mengais sampah sedang mereka makan dari hidangan koki istana. Masih banyak saudara kami yang sakit-sakitan tak kunjung sembuh sedang mereka jika sakit langsung ke negara tetangga untuk berobat. Masih banyak pula saudara kami yang hidup di bawah kolong-kolong jembatan sedang mereka tidur nyenyak di atas ranjang vila-vila mewah mereka. Mereka tak bosan menipu, membodohi dan menyengsarakan kami.
Muak dan bosan pengatasnamaan diri kami yang terpinggirkan oleh mereka yang berperut buncit yang tak bosan menyedot darah dan keringat kami. Kami dipaksa membayar pajak yang katanya demi kepentingan kami dan kami setujui padahal tidak sama sekali. Faktanya hanya mereka kaum borjuis dan kalangan pemerintah yang dengan enaknya menikmati potongan jerih payah kami. Banyak penyelewengan yang akhirnya kian memperburuk keadaan kami yang telah begitu sengsara sebelumnya. Semuanya tidak pernah kembali kepada kami.
Semua hal nista ini tersebut terus berlanjut dari masa ke masa. Dari jaman ke jaman. Dari rezim ke rezim. Orientasi mereka hanya satu, kekuasaan. Bagi mereka, kami adalah alat kamuflase mereka untuk memperoleh kekuasaan. Kekuasaan untuk mengatur dan memerintah kami dengan klaim hak memerintah dari kami yang tidak pernah kami berikan. Karena kami merdeka sejak lahir dan tak pernah mau diperintah. Lantas masuk akalkah jika kami yang tidak mau diperintah memberikan hak kepada mereka untuk memerintah kami? Semua itu dusta.
Kami hanya ingin hidup. Tentram. Bisa makan dari jerih payah kami tanpa menyakiti orang lain. Tanpa politisasi atau ditunggangi kepentingan-kepentingan busuk mereka. Tanpa perintah mereka. Tanpa aturan palsu yang mengklaim kami menyetujuinya. Kami ingin bersama-sama memutuskan sesuatu dan membangun surga kami di dunia ini tanpa aturan mereka. Bercocok tanam dan berternak untuk memenuhi makan kami sendiri. Tak perlu diatur karena kami merdeka bukan domba yang harus disuruh-suruh.
Dan kami akan berontak sekarang. Melepaskan kekang-kekang kendali mereka yang selama ini membelenggu kami. Membangun surga indah kami dalam kedamaian sama rasa, sama rata tanpa ada saling intervensi satu sama lainnya. Tidak ada mereka yang leluasa menjual diri kami pada kapitalis busuk. Tidak ada mereka yang mengklaim membuat peraturan yang berasal dari kami. Tidak ada mereka yang memerintah dan menunggangi kami demi kepentingan mereka. Hanya ada satu dunia yang anarki dan anti hirarki.
Diposting oleh
Nazruel D. Cokrow
Ⓐ
13.7.11
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Comment:
Posting Komentar