13 Juli 2011
Fasisme dalam Kultur Agama
Tulisan ini merupakan tantangan terbuka bagi mereka-mereka yang memberangus setiap kepercayaan dan sweeping plus pengrusakan keyakinan yang dicap kafir oleh front-front maupun divisi-divisi yang berlindung dibalik topeng moral agama!
Aku bersumpah untuk setiap tempat ibadah yang kalian hancurkan dengan mudah, untuk setiap kitab yang kalian anggap layak dijadikan tempat meludah. Atas nama kebanggaan terhadap kepercayaan individu sehingga kebebasan orang lain harus rata dengan tanah. Untuk setiap dakwah yang kalian lempar sebagai invitasi untuk menjelajah kemungkinan bahwa setiap pemikiran diluar kepala kalian pantas untuk musnah!
Sudah seharusnya setiap individu bebas mutlak menentukan agama apa yang dianutnya. Diskriminasi diantara para warga sehubungan dengan keyakinan agamanya sama sekali tidak dapat ditolerir, bahkan untuk sekedar penyebutan agama seseorang di dalam dokumen resmi tanpa ragu lagi mesti dibatasi. Negara pun seharusnya juga tidak diperbolehkan didirikan untuk masyarakat religius tertentu. Hal-hal ini secara absolut menjadi perkumpulan bebas orang-orang yang berpikiran begitu, asosiasi independen dari negara. Hanya pemenuhan seutuhnya dari tuntutan ini yang dapat mengakhiri masa lalu yang memalukan dan keparat.
Fenomena pemberangusan kebebasan berkeyakinan menjadi trend busuk dikalangan divisi atau front-front yang mengatasnamakan suatu kultur religius tertentu. Sehingga fenomena tersebut lebih pantas untuk disebut dengan fasisme berkedok agama. Aku berargumen bahwa fasisme tak ada hubungannya dengan religius atau tidaknya sebuah masyarakat dan saya pikir setiap orang pun dapat membedakan antara agama dan fasisme terutama bagi mereka yang selalu membuka ruang bagi perdebatan dan argumentasi. Kecuali memang jika kita dikelilingi oleh para fasis atau dalam kata lain masyarakat kita hari ini adalah wujud lain dari gabungan pasukan Neo-Nazi. Itu sudah beda masalah. Mereka-mereka yang mengatasnamakan suatu penganut religius tertentu dengan terang-terangan melakukan penganiayan, pemukulan bahkan penyerangan dan pengrusakan tempat-tempat ibadah dibeberapa kota.
Namun bagaimanapun juga kita juga tidak boleh atau tidak patut untuk jatuh dalam kesalahan menempatan persoalan agama ke dalam sebuah abstrak, kebiasaan yang idealistik sebagai sebuah masalah intelektual yang tak berhubungan dengan perjuangan agama itu sendiri seperti yang tidak jarang dilakukan oleh kaum-kaum yang terorganisir dalam front-front yang ada diantara masyarakat kita.
Diposting oleh
Nazruel D. Cokrow
Ⓐ
13.7.11
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Comment:
Posting Komentar