1936, Kota
Malang Sudah Punya Jalan Lingkar Luar
Mengapa Malang dulu dikenal sebagai
kota sejuk, kota taman, kota pegunungan, dan kota indah? Semuanya karena konsep
penataan kota yang dilakukan arsitek Herman
Thomas Karsten. Bagaimana konsepnya?
Saat pemerintah akan mengembangkan
Kota Malang dengan cara perluasan lahan, ketika para spekulan membeli tanah dan
menjualnya kembali dengan harga tinggi, muncullah permasalahan. Hal itu tidak
hanya terjadi zaman sekarang. Sejak Malang pertama akan mengembangkan diri,
masalah tersebut sudah merebak.
Saat itu tanah masih sangat-sangat
luas dan harga tanah seperti tidak bernilai. Bahkan, karena masih banyak
“belukar”, di beberapa daerah seperti Oro-Oro Dowo dan Kedungkandang masih
sempat dijumpai binatang-binatang liar seperti macan rembang.
Meskipun telah dilakukan perubahan
dalam peraturan hukum, tetapi Gemeente Malang
masih belum puas dengan tingkat kemandirian yang dimilikinya. Mereka
menghendaki adanya reformasi pemerintahan menjadi dekonsentrasi. Dewan-dewan
wilayah dibubarkan karena jumlahnya terlalu besar dan dirasakan kontak anggota
dengan penduduk masih kurang.
Spekulan tanah muncul saat pemerintah
Gemeente Malang berubah status
menjadi Staadsgemeente tahun 1926 dan
memperoleh wewenang yang lebih besar (Stadsgemeente
Ordonantie 1926). Selanjutnya mereka bertanggung jawab kepada Provinsi Jawa
Timur. Meskipun tanah kosong masih sangat luas, tanah yang telah direncanakan
untuk pengembangan kota telah lebih dahulu dibeli spekulan tanah.
Melihat gejala tersebut, Wali Kota
saat itu Ir. E.A. Voorneman mengambil tindakan berdasar Bijblad I 1272
mengeluarkan suara rencana yang disebut Geraamteplan (Outline plan) yang bertujuan menguasai tanah yang diperlukan untuk
perluasan kota dengan biaya pemerintahan pusat. Geraamteplan yang dibuat pemerintah Stadsgemeente Malang pada dasarnya hanya untuk menguasai tanah
untuk perluasan tanpa dibuat breakdown
lebih detail tentang rencana fungsi dan pemanfaatannya. Akibatnya, rencana Geraamteplan Malang ditolak oleh
pemerintah pusat.
Sebagai akibat dari Algemeene Volkshuisvestingcongress (Kongres
Perumahan Rakyat Umum) 1922, pada 1926 pemerintah pusat menetapkan perluasan
dari Oemeentelijk Voorkeurrecht Op
Gouvernementsgronden (Peraturan Hak Preferensi Kotapraja atas Tanah
Gubermen) berupa bijblad (lampiran
negara) nomor 11272 yang isinya tentang pedoman-pedoman cara penguasaan tanah
bagi perluasan tanah. Hal itu menjadi basis bagi pembuatan Geraamteplan yang
akan diajukan kepada pemerintah pusat untuk bisa diterima, dipertimbangkan,
atau ditolak. Setelah disetujui, pemerintah pusat akan memberikan prioritas
berdasar undang-undang bahwa tanah yang dipergunakan untuk perluasan kota tidak
boleh dijadikan hak milik atau yang sampai sekarang kadang-kadang kita masih
mendengar istilah eigendom. Sekarang
banyak pihak yang ingin memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat tentang tanah eigendom itu. Mereka mengetahui daftar
tanah-tanah tersebut dan menakut-nakuti penghuni rumah yang notabene sudah
tinggal turun-temurun untuk bisa diambil alih dengan hanya diberi uang pesangon.
Alasannya, daripada nanti sewaktu-waktu tanah tersebut diambil oleh pemerintah.
Ternyata rumah atau tanah tersebut dijual kembali dengan harga yang
berlipat-lipat.
Kemudian, bagaimana rencana Staadsgemeente Malang setelah Geraamteplan-nya ditolak pemerintah
pusat? Langkah yang diambil adalah mencari ahli perencana kota untuk membuat
perencanaan tersebut. Dan, pilihannya jatuh kepada Ir. Herman Thomas Karsten,
yang sebelumnya sering diminta untuk membantu sebagai penasihat kota (adviseur) Malang. Karsten lahir pada 22
April 1884 di Amsterdam. Dia arsitek yang sangat brilian di Belanda. Hampir
semua keluarganya professor di beberapa bidang. Karsten lulus dari jurusan
bangunan di sekolah tinggi teknik di Delf tahun 1909 dengan hasil cumlaude.
Karsten datang ke Indonesia pada
1914, tepat kelahiran Kota Malang, atas undangan teman sekolahnya, Henri
Maclaine Pont, seorang arsitek yang banyak karyanya dapat dijumpai sampai
sekarang seperti gedung ITB, Museum Trowulan, dan Geraja Pohsarang di Kediri.
Karsten menikah dengan Soembinah Mangunrejo, seorang buruh tanam tembakau di
Lembah Dieng, Jawa Tengah. Selanjutnya, dia aktif sebagai pengurus dewan
kesenian dan ikut mendirikan perkulmpulan kesenian Jawa Sobokarti di Semarang (De Java Institude). Tahun 1941, dia
menjadi lektor luar biasa ITB Bandung jurusan planologi dan berteman dengan
tokoh penting saat itu seperti Ir. Soekarno, Djojodiningrat, dan Radjiman.
Setelah masuknya Jepang di
Indonesia tahun 1942, Karsten ditangkap dan dimasukkan ke kamp penyiksaan interneer Jepang. Dia berada di kamp
penyiksaan sampai meninggal April 1945.
Sebelum meninggal, setelah diangkat
resmi olah Wali Kota Ir. E.A. Vooeneman Agustus 1929, Karsten membuat
perencanaan besar Kotapradja Malang. Dari sinilah, awal perencanaan Kotamadya
Malang dengan konsep totalbleed
dimulai, kota sebagai satu kesatuan dan terdiri atas faktor-faktor bangunan,
jalan-jalan, rambu-rambu, penghijauan, pematusan, dan pemandangan yang harus
menyatu serta direncanakan dengan menyeluruh dan berkesinambungan. Sekarang
konsep tersebut dapat kita jumpai pada penyusunan RUTRK (rencana umum tata
ruang kota), kemudian RDTRK (rencana detail tata ruang kota) yang akhirnya
diterjemahkan dalam RTRK (rencana teknis ruang kota).
Menurut dia, fondasi pembangunan
kota ada tiga. Yaitu perencanaan yang menyeluruh, peraturan-peraturan
administratif, dan dinas yang tegas mengurusi serta mengawasinya. Kemudian
tahun 1932, dibentuklah dinas ynag mengurusi pembangunan kota (mungkin sekarang
sama dengan dinas kimpraswil). Juga ada pembuatan peraturan pembangunan kota
(sekarang dikenal dengan IMB/izin mendirikan bangunan). Pun ada bagian
perencana kota (sekarang seperti bappeda).
Tugas pertama yang harus dilakukan
adalah pembuatan pengaturan tentang tipe bangunan dan pembagiannya dalam
lingkungan. Tipe yang bercorak kota terdiri atas tipe vila (khusus untuk rumah
di daerah Jalan Ijen), tipe rumah kecil, tipe rumah kampung terbuka dan kampung
tertutup , serta tipe fasilitas umum dan
tipe pedesaan. Inilah kali pertama pemerintah Belanda membuat peraturan
pengelompokan jenis perumahan berdasar etnis. Sebelumnya, tipe pembangunan
selalu dikelompokkan berdasarkan jenis pemukiman Eropa, China, Arab, dan
penduduk biasa.
Tugas kedua adalah perencanaan
jalan yang menyeluruh dan terpadu dengan perkembangan pembangunan kota. Karsten
dangat memperhatikan pertumbuhan jumlah penduduk dalam merencanakan pembangunan
jalan dan jaringannya. Sebagai contoh, pada saat tingkat pertumbuhan kendaraan
saat itu di jalan utama (Kayutangan) akan meningkat, segera dibangun outer ringroad (jalan lingkar luar) di
sebelah timur yang sekarang dikenal sebagai Jalan Panglima Sudirman. Jalan
lingkar luar itu melewati Rampal yang sebelumnya adalah jalan tembusan tak
beraspal. Sedangkan outer ringroad di sebelah barat adalah lingkar Jalan Ijen
tembus Oro-Oro Dowo.
Sebagai ilustrasi, jumlah penduduk
Malang pada 1936 adalah 96.000 jiwa. Dengan jumlah sebesar iut, Kota Malang
sudah mempunyai outer ringroad.
Sekarang, tahun 2012 dengan jumlah penduduk lebih dari 800.000 jiwa, ringroad-nya di sebelah timur masih
sama. Dapat dibayangkan kemampuan jalan menahan pertumbuhan volume kendaraan
yang sangat tidak seimbang sehingga menyebabkan kemacetan yang panjang.
Konsep yang lain adalah tentang
pembuatan taman dan ruang terbuka. Dalam perencanaan sebelumnya, ruang terbuka
yang ada sebelumnya untuk olahraga dan untuk kepentingan militer. Namun,
Karsten juga seorang pecinta berat lingkungan. Dia pun membuat taman untuk
bersantai masyarakat umum. Dia mengatakan, jalan utama harus cukup lebar dan
harus diberi taman di setiap persimpangannya. Jalan tersebut harus berirama,
diatur dengan adanya sumbu-sumbu jalan datar dan titik klimaks. Hal ini akan
menjadi ciri kota yang indah. “Bukan saja indah dipandang mata, tetapi juga
nyaman dilewati,” ungkap Karsten. Konsep itulah yang kemudian diterapkan pada
penataan Ijen Boulevard yang berhasil ikut dalam Pameran Tata Kota Dunia di
Paris tahun 1937 dengan bantuan penasihat Kotamadya Bandung.
Untuk menunjukkan bahwa Malang Kota
pegunungan, diterapkan peraturan daerah untuk bangunan yang berada di sepanjang
Daendels Boulevard (Jalan Kertanegera) melewati JP Coen Plien (Alun-alun Bunder), sampai tembus Jalan Semeru.
Diatur keberadaaan dan ketinggian bangunannya supaya tidak menutupi pemandangan
ke arah Gunung Kawi. Dan untuk menunjukkan pemandangan gunung pada setiap orang
yang datang ke Malang, tahun 1930 Stasiun Kota Baru yang dulunya punya pintu
masuk menghadap ke tangsi militer (Rampal) dipindah menghadap ke arah Alun-alun
(Tugu) sampai sekarang.
Sedangkan untuk menjaga resapan dan
suhu udara yang sejuk, dimanfaatkan keberadaan Sungai Brantas. “Seluruh lembah
Brantas yang ada di dalam kota akan dipakai sebagai taman. Sungai Brantas bukan
hanya berfungsi sebagai pembatas kota, tetapi harus juga berfungsi sebagai
taman kota,” ucap Karsten.
Melalui keberadaan taman yang
dihubungkan dengan jalan setapak di sepanjang Sungai Brantas, hampir semua
bangunan mempunyai teras yang menghadap ke Sungai Brantas. Sekarang kita tahu,
tidak satu pun bangunan yang mau menghadap ke arah sungai. Ini menyebabkan
sungai menjadi kumuh, ditempati oleh para tunawisma, dan tidak menarik lagi
sebagai fungsi semula: taman sekaligus paru-paru kota. Padahal, sebutan Malang
Kota sejuk, kota taman, atau kota indah berawal dari perencanaan saat itu yang
selalu membangun berkonsep lingkungan. Sekarang, perlu dipertimbangkan lagi
kemungkinan mengembalikan kasta taman dan sungai ke tempat semula sebagai
barometer keindahan dan kenyamanan Kota Malang.
KISAH
SEJARAH KOTA MALANG YANG TAK BANYAK TERUNGKAP (8)
Hotel
Internasional Kini Jadi Kantor Bank
Banyak bangunan bersejarah di Kota
Malang. Sebagian sudah berubah dan sebagian masih utuh. RSSA itu dulunya
benteng pertahanan Belanda. Selain itu, kenapa Toko Oen masih utuh meski Malang
mengalami peristiwa bumi hangus?
Lewat dari arah mana jika ingin
berkunjung ke Kota Malang? Jawabnya adalah dari arah utara. Kenapa? Karena
kalau ingin berkunjung ke rumah harus melalui pintu bukan lewat jendela atau
yang lain.
Terus, pintunya Malang apa di utara?
Ya, pintunya ada di Lawang! Lawang dalam Bahasa Jawa berarti pintu. Entah pintu
masuk atau pintu keluar, tapi memang lebih baik masuk lewat Lawang.
Pintu masuk Malang dari arah
Surabaya inilah yang paling banyak dilalui daripada yang lainnya (Blitar, Kediri
atau Lumajang). Nah, sekarang kalau kita coba menelusuri keberadaan bangunan heritage dari arah utara ke selatan,
kita akan menemui beberapa sumber data, baik tertulis maupun lisan. Kadang satu
tempat mempunyai beberapa keterangan yang berbeda sesuai dengan sumbernya
sendiri-sendiri.
Yang ingin saya sampaikan sekarang
ini adalah salah satu sumber data yang berasal dari literatur yang paling
banyak dipergunakan dalam setiap penelitian sejarah arsitekstur dan budaya.
Saya akan mencoba dari mulai bangunan yang dibangun sejak zaman Gemeente yang masih bisa kita lihat
sampai sekarang.
Penjara ini telah mengalami
pergantian tiga masa, yakni masa Belanda, Jepang dan kemerdekaan. Dibangun pada
1921 saat pemerintah Belanda membangun perumahan di daerah Celaket, kemudian
digunakan Jepang sebagai tempat penampungan para pejuang diinterogasi.
Pada saat Belanda memasuki Malang,
tempat ini dibakar oleh para pejuang Malang sampai tinggal tembok penyekatnya
saja. Sampai sekarang LP Lowokwaru masih berfungsi sebagai penjara meskipun
lokasi perumahan penduduk sangat dekat sekali. Tempat ini pula yang menjadi
tempat awal karir pahlawan Hamid Roesdi sebagai sopir.
Di dekat lintasan kereta api
kawasan Celaket terdapat sebuah rumah sakit yang sejuk dan rimdang dengan
fasilitas yang modern bernama Rumah Sakit Lavalette. Kependekan dari
G.Ghr.Renardel De Lavalette, nama seorang pemilik klinik ini. Karena
kesetiaannya pada pengabdian kesehatan masyarakat, beliau bersama Yayasan
Stichting voor Malangsche Verleging pada 1918 mendirikan klinik kesehatan yang
sekarang berkembang menjadi rumah sakit di bawah pengelolaan PT. Perkebunan
Nusantara XI (Persero).
Tepat pada 8 Februari 1900
keinginan Mgr. Staal (satu-satunya Uskup di Indonesia) untuk mendirikan biara
dan sekolah di Malang terwujud. Keinginan itu terwujud dengan dibelinya tanah di
Jalan Celaket milik Tuan Stenekers. Selanjutnya tanah tersebut pada 3 Maret
1900 dibangun oleh arsitek Westmass dari Surabaya. Mulai digunakan tahun 1930
untuk sekolah pendidikan guru dengan nama SPG Santo Agustinus.
Pada masa pendudukan Jepang,
sekolah ini dihentikan untuk keperluan Jepang. Selanjutnya pada bulan November
1945 dijadikan markas sementara sekolah militer divisi VII Suropati (sebelum
pindah ke bekas asrama Marine Belanda di Jalan Andalas).
Pada saat Clash I pada tanggal 30 Juli 1947, sekolah ini juga tidak luput
dari pembakaran. Tanggal 8 April 1951 dimulai pembangunan kembali secara
besar-besaran dan tanggal 15 Juli 1951 sekolah pendidikan guru Santo Agustinus
ini berubah menjadi SMA Corjesu dan diresmikan oleh Monseigneur pada 13 Januari
1955.
Tepat di pinggir Jalan Celaket yang
merupakan akses utama hampir seluruh kegiatan Belanda, dibangun Fraterschool
pada 1926 dengan arsitek biro arsitek Hulswit, Fermont & Ed, Cuypers dari
Batavia. Gedung yang sehari-hari berfungsi sebagai sekolah umum dan biara untuk para frater, berada di bawah
Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus Provinsi Indonesia dengan Bapak pendiri
Frater Mgr. Andreas Ignatius Schaepman. Diresmikan tanggal 13 Agustus 1873 di
Utrecht.
Lokasi bangunan yang paling
bersejarah di Malang adalah lokasi sekarang berdiri RSSA.
Saiful Anwar. Karena kali pertama
Belanda memasuki Malang pada 1767, mereka membangun benteng pertahanan atau
Loge/Loji (Kelojian-Kelodjen) di tempat ini. Pembangunan ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa Sungai Brantas dapat dijadikan jalan keluar jika terjadi
penyerangan. Selanjutnya pada 1800-an, Belanda mulai bermukim di sekitar
alun-alun dan tempat ini dijadikan militair hospital (rumah sakit Tentara
Belanda) di daerah kompleks militer Belanda, mulai dari Lapangan Rampal.
Sekarang semua fasilitas tersebut digunakan untuk Kodim, Ajendam, Rindam dan
Kesdam. Pada 8 Maret 1942 Jendral Ter Poorten menyerahkan rumah sakit ini
kepada Jepang sampai terjadi pengeboman Hiroshoma 6 Agustus 1945.
Saat terjadi agresi militer I 1947,
setelah bertukar tempat dengan RS Sukun, oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur
digunakan sebagai rumah sakit umum dengan nama ‘Celaket’ dan berganti nama
Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar pada 12 Nopember 1979 sampai sekarang.
Kantor Electriciteit Mij Aniem N. V. Malang atau Perusahaan Listrik Negara
cabang Malang dibangun sekitar 1930-an dengan cirri khas Nieuwe Biuwen yang beratap datar, gevel horizontal dan volume
bangunan berbentuk kubus.
Bangunan yang bagian belakangnya
lengsung menghadap ke Sungai Brantas ini mempunyai beberapa ruang bawah tanah
yang tertutup. Jika dilihat dari tahun pembangunan yang sezaman dengan pembangunan
Stasium Kota Baru, maka fungsi ruang-ruang bawah tanah tersebut adalah dipakai
sebagai tempat berlindung atau menyelamatkan alat-alat vital listrik. Ruang itu
dibuat untuk melindungi alat-alat dari Perang Dunia II yang saat itu isu-nya
berkembang cukup luas.
Gedung yang saat ini dipergunakan
Bank Central Asia berada tepat di perempatan Jalan Basuki Rahmat ini dibangun
pada 1930 oleh biro arsitek Karel Bosh adalah Hotel Mabes dan Malangsche
Apotheek. Kemudian berganti nama Hotel YMCA, tidak diketahui dengan jelas tahun
berapa hotel tersebut berganti nama, tapi saat itu hotel ini adalah
satu-satunya hotel Jaringan Internasional di Malang.
Kantor Telkom sekarang ini dahulu
adalah kantor pos, telegram dan telepon. Dibangun 8 Juli 1909 dan pension pada
1929.
Sambungan telepon masih dikelola
oleh swasta, baru pada 1917 diserahkan ke pihak Kotapraja dengan jumlah
sambungan sebelumnya 275 menjadi 1.000 sambungan yang kebanyakan pemakainya
orang Eropa.
Sama dengan bangunan Belanda yang lain,
pada agresi militer I, hampir semua bangunan kolonial Belanda dibakar, kantor
Telkom ini juga tak luput dari amuk pejuang Malang hingga tinggal tembok
depannya saja.
Pada masa pendudukan Belanda yang
kali kedua ditandai dengan defile
pasukan dan kendaraan berat, kantor Telkom ini selalu menjadi panggung anjungan
kehormatan.
Sejak 1930 Toko Oen Ice Cream Palace Patissier mulai dibuka dan menjadi
satu-satunya restoran dari keluarga China, ‘Oen’ dengan menyediakan menu khas
Belanda saat itu. Karena lokasinya berada tepat di depan Gedung Concordia (sekarang Sarinah) tempat berkumpulnya semua warga
Belanda di Malang, restoran ini sampai sekarang dikenang sebagai tempat
nostalgia warga Belanda yang wajib dikunjungi.
Pada saat Kongres KNIP pada 25 Februari
1947, restoran ini menjadi tempat mangkal para peserta Kongres se-Indonesia
untuk beristirahat makan siang. Semasa pendudukan kembali Belanda pada Juli
1947, tempat ini adalah salah satu yang selamat dari pembumihangusan.
Gereja ini didirikan pada 1905 oleh
arsitek MJ. Hulswit, murid sekolah Quelinus yang dikepalai oleh PJH Cuypers.
Dia arsitek Belanda ahli restorasi gereja-gereja Githic saat Malang masih
menjadi daerah bagian dari karesidenan Pasuruan.
Di dalam terdapat prasasti yang
ditulis dalam bahasa Belanda yang artinya “Gereja ini dipersembahkan kepada
Hati Kudus Yesus, didirikan berkat kemurahan hati yang mulia Monseigneur E.S
Luypen, dirancang oleh M.J Hulswit”. Dan semasa penggembalaan yang terhormat
room-romo GDA. Joncbloet dan FB. Meurs, pada tahun 1905 dilaksanakan oleh
pemborong YM.Monseigneur Edmundus Sijbrandus Luypen, Uskup Tituler dari Eropa,
Vikaris Apostolik dari Batavia” (Indrakusuma, 1992).
Dua tower ciri khas Gereja Gothic
di kanan kiri pintu masuk. Saat pembangunan pertama pada 1910 belum ada, baru
pada 17 Desember 1930 menara itu selesai dibangun dan tidak berubah sampai
sekarang.
Sayang makam ini sekarang sudah
tidak terawat bahkan cenderung terabaikan. Padahal kedua makam tersebut adalah
keturunan langsung trah Majapahit. Dalam buku leluhur R. Koesnohadipranoto
(Comptabel Ambtenaar) dan Serat Kekancingan Kasunan Surokarto Hadiningrat Nomor
45/15/II 3 Feb 1933, turunan R.B Soeprapto, disebutkan bahwa makam pertama
adalah Kandjeng Pangeran Soero Adimerto (Kyai Ageng Peroet) dan yang kedua
adalah Pangeran Honggo Koesomo (Mbah Honggo).
Bagaimana makam keturunan Majapahit
bisa berada di sini? Tahun 1518 dan 1521 pada masa pemerintahan Adipati Unus
dari kerajaan Demak menyerang kerajaan Majapahit masa pemerintahan Prabu
Brawijaya (Bhre Pandan-Salas, Singhawikramawardhana). Serangan pasukan Demak
memaksa seluruh keluarga mundur ke Sengguruh yang selanjutnya mengungsi ke
Pulau Bali.
Prabu Brawijaya mempunyai putra
yang bernama Batoro Katong yang melarikan diri ke Ponorogo pada 1535 dan
menjadi Adipati Ponorogo. Beberapa keturunan selanjutnya, Kandjeng Soero
Adimerto yang hidup pada masa perjuangan Pangeran Haryo (BPH) Diponegoro, putra
Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kandjeng Susuhunan Pakubuwana I tahun 1825.
Setelah peristiwa penangkapan
Pangeran Diponegoro oleh Jendral De Kock di Magelang pada 28 Maret 1830, semua
Senopati (panglima perang) berpencar ke seluruh Jawa Timur dengan menggunakan
nama-nama samaran yang bertujuan menghilangkan jejak terhadap Belanda.
Pangeran Soero Adomerto berganti
nama Kyai Ageng Peroet, Pangeran Honggo Koesomo menjadi mbah Onggo, Ulama Besar
Kanjeng Kyai Zakaria II menjadi Mbah Djoego. Sedangkan keturunan di bawahnya,
Raden Mas Singhowiryo dimakamkan terpisah sekitar 50 meter dan sekarang dikenal
masyarakat dengan Kuburan Tandak.
Pada awal 1900-an Malang Stoomtram
Maatschappij (perusahaan pengelola trem Belanda) sudah mengoperasikan trem
(kereta api uap) di Malang. Kereta angkutan penumpang pada tahun itu sudah
menjadi angkutan yang populer di samping semua angkutan tradisional.
Rel trem yang dahulu terdapat di
Blimbing, Lowokwaru, Celaket, Kayutangan dan melintas di tengah-tengah
alun-alun. Saat ini sudah tidak dapat dijumpai lagi karena perkembangan lalu
lintas yang sangat padat.
Sekarang trem hanya digunakan di
daerah pabrik gula untuk mengangkut tebu yang akan digiling dari penampungan ke
lokasi penggilingan di daerah Kebonagung. Padahal sekitar tahun 1910-an trem
ini mempunyai banyak jurusan dari Singosari, Tumpang sampai Kepanjen. Beberapa
alat transportasi lainnya adalah oplet, bemo dan dokar.
Berdasar buku petunjuk Kotapradja
malang pada 1969, ada beberapa tempat parkir di Malang. Antara lain, oplet
jurusan Batu di pegadaian, jurusan Tumpang di boldy, jurusan Kepanjen di
jagalan Trem, jurusan Surabaya di Jalan Kabupaten, jurusan Turen-Dampit-Gondanglegi-bululawang
berada di Comboran. Sedangkan untuk bemo dan demo berada di Kidul Pasar dan
truk di Jalan Halmahera. Sedangkan tempat parkir dokar berada di Kidul Dalem,
Kotalama, Jagalan, Kauman, Halmahera dan Kebalen.
Javasche Bank (Bank Indonesia)
dirancang oleh biro arsitek Hulswit, Fermond & Ed. Cuypers dari Batavia
pada 1915. Hampir bersamaan dengan bangunan-bangunan gedung yang lain di sekitar
alun-alun, seperti Palace Hotel (Hotel Pelangi).
Tidak seperti bangunan Javasche
Bank yang lain di Indonesia yang menggunakan model neo-clasik dengan
kolom-kolom Yunani yang tinggi, di Malang terkesan lebih modern. Pada zaman
pendudukan Jepang pada 1943, diperintahkan pembatasan semua fasilitas Belanda,
termasuk sekolah-sekolah, sedangkan rakyat dilarang menyimpan dana di bank.
Satu-satunya bank yang ditunjuk
untuk menghimpun dana dari seluruh bank adalah Javasche Bank dengan tujuan,
Jepang dapat mengawasi ketat seluruh perekonomian dengan satu pintu.
Setelah dibumihanguskan pada 1947
oleh pejuang-pejuang Kota Malang, dibangun kembali tanpa meninggalkan bentuk
dasar bangunan aslinya dengan diberi penambahan pagar besi yang kelihatan
sangat kokoh.
Salah satu contoh bentuk design art deco yang sekarang lagi trend
adalah desain gedung Bioskop Rex. Sekarang telah dibongkar habis dan diganti
gedung perkantoran sebuah bank.
Seandainya tetap mempertahankan
bentuk art deco yang sekarang banyak dijadikan acuan desain modern dunia, pasti
akan lebih banyak orang yang datang ke sana minimal untuk foto bersama. Tapi
itupun adalah salah satu bentuk promosi gratis. Sebelumnya bioskop Rex berganti
nama Ria.
Sepanjang jalan itu terdapat banyak
sekali gedung bioskop, antara lain Alhambra, Grand, Centrum, Merdeka, Surya,
Agung, Jaya, Ratna, Mulia, Kelud-Tenun dan di utara ada Irama.
Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara
Bangunan yang mempunyai cirri atap
segitiga ini dahulunya adalah kantor Karesidenan Malang yang dibangun pada 1936
oleh arsitek Ir. M.B. Tideman. Sampai sekarang tidak mengalami perubahan yang
berarti.
Perkembangan arsitektur Belanda
saat itu banyak terpengaruh gaya kolonial awal modern di mana tiap bangunan
mempunyai pola simetri yang kuat. Sebelum tahun 1900 areal ini menjadi pusat
perdagangan dengan sistem barter, di mana semua penduduk dari pedalaman
berkumpul untuk menukarkan barang-barang untuk dibawanya.
Saat terjadi serbuan Tentara
Inggris di Surabaya yang disusul pendudukan Kota Surabaya oleh Tentara belanda,
pemerintah RI tingkat Provinsi jawa Timur dipindah ke Malang bertempat di
gedung bekas Karesidenan Malang ini.
Berhubung perpindahan ini diberengi
dengan pengungsian penduduk Surabaya ke Malang, maka dibutuhkan banyak tempat
untuk menampungnya, antara lain gedung sekolah Jalan Panderman.
Tahun 1947 saat Malang bumihangus,
gedung ini menjadi target untama pembakaran oleh pejuang Malang, karena
letaknya yang sangat strategis untuk digunakan kembali oleh Belanda.
Hotel
Pelangi-Palace Hotel
Hotel Pelangi awalnya adalah Palace
Hotel mempunyai ciri-ciri khas bangunan kolonial tahun 1900-1915, yakni di
tengah bangunan terdapat Double Tower yang menjulang tinggi untuk pengawasan
dan mempunyai dua blok di sisi kanan dan kiri yang menjorok ke depan.
Dibangun tahun 1916, sebelum
menjadi hotel yang memiliki 126 kamar. Pada saat itu tempat ini memang menjadi
tempat favorit untuk didirikan hotel. Sekitar tahun 1850 diawali oleh Hotel
Malang dengan arsitektur rumah joglo tradisi Jawa yang sangat tradisional,
bahkan cenderung layaknya rumah tinggal besar (pendapa), kemudian dibongkar dan
dibangun Hotel Jansen dan Hotel Jansen masing-masing mempunyai 50 kamar.
Selanjutnya Palace Hotel menjadi
hotel terbesar di Malang pada 1947. Saat terjadi Clash I hotel ini dijadikan tempat pemerintah Kota Malang
sementara. Bersamaan dengan dibakarnya gedung Balai Kota Malang , pegawai
beserta sebagian penduduk mengungsi ke daerah di sekitar Malang Selatan. Sampai
saat ini di dalamnya masih terjaga keasliannya, bentuk lantai, plafon, dan
dinding bergambarkan Belanda yang dibuat masa pemerintahan Belanda masih
terlihat mengkilap.
Masjid Jamik Malang dibangun 1875.
Sedang tanah lapang di depannya 7 tahun kemudian, tahun 1882, dibangun
alun-alun Malang (50 tahun Kotapradja Malang, 1964). Masjid ini termasuk 3
masjid “beryoni” di Jawa Timur selain Masjid Ampel Surabaya dan Masjid Jamik
Pasuruan.
Masjid ini mempunyai tiang di
bagian dalam sebanyak 20 buah, sebagai simbol 20 sifat wajib Alloh SWT dan 4
tiang besar di depan sebagai simbol 4 sifat wajib Nabi Muhammad SAW.
Tiang-tiang ini adalah tempat yang
utama untuk memanjatkan doa kepada Alloh SWT. “Saat saya kecil, KH. Zaini Amin pernah bercerita tentang keutamaan
tiang-tiang ini, karena saat dibangunnya para pendiri berpuasa dengan khusuk,
sampai-sampai setelah salat Jumat para sesepuh masjid berebut untuk bersandar
di tiang-tiang ini sambil memanjatkan pujian kepada Alloh SWT” (saat saya
mewawancarai KH.Kamilun, ketua Yayasan Masjid Jamik Malang).
Dulu di dalam masjid ini terdapat
prasasti yang berisi peresmian perluasan masjid pada 15 Maret 1903 dan selesai
13 September 1903. Prasasti itu ditandatangani langsung oleh Bupati Malang IV
Raden Bagoes Mohammad Sarib yang menjadi Bupati Malang dengan gelar Raden Adipati
Ario Soerto Adiningrat Ridder der Officer Oranje Nassau, menjabat tahun 1898
sampai 1934.
Perluasan tahap II tahun 1950,
tahap III tahun 1980 dan tahap IV tahun 1992 dan pada tahun 2002 atas anjuran
arsitek Perancis yang mengamati langsung kondisi bangunan, masjid ini diperkuat
sekaligus diperindah sampai sekarang.
Bentuk dan ornamen masjid tetap
dipertahankan “Njawani” sampai sekarang. Di mana dapat dilihat bentuk pintu,
hiasan tombak, dan ukiran-ukiran dari besi baja sejak kali pertama dibangun.
Di belakang masjid terdapat makam
beberapa kerabat bupati yang sekarang dipindah ke Makam para Bupati di Gribig.
Salah satunya kemungkinan besar makam Kyai Tumenggoeng Mertonegoro yang
berganti nama Kijaie Toemenggoeng Nitienegoro setelah menjadi Bupati Malang I
periode sebelum kolonial (tahun 1740).
“Kandjeng Nitinegoro sedo pesarehan ing wingking Masjid Jamek, Aloon-aloon
Malang” (surat Eyang Mlojokoesomo/ Bupati Malang II kepada cucunya Soemowirjo,
1929).
Sedangkan bupati keempat pra
kolonial atau periode pertama masa colonial, R.Toemenggoeng Ario Notodiningrat
meninggal tahun 1884 dimakam di Gribig (kitab Nitieadiningrat 1914).
Di perempatan alun-alun utara tahun
1861 berdiri sebuah Gereja Protestan kuno bersebelahan dengan Masjid Jamik.
Karena bentuknya sangat sederhana oleh Belanda dibongkar dan dibangun kembali
dengan gaya Gereja Gothic tahun 1912.
Pada waktu itu halaman depan masih
hijau dan luas. Seiring perkembangan kota yang pesat dan lokasinya yang tepat
di persimpangan jalan utama, maka halaman depan gereja ini menjadi semakin
sempit. Sedangkan bentuk luar dan dalam gereja persis sama dengan awal
dibangunnya.
Gedung Flora-Gedung
Wijaya Kusuma
Flora Cinema dibangun pada 1928
dengan fasilitas Biljart Room, barber shop dan toko-toko makanan. Setelah
kemerdekaan, gedung ini berganti nama Wijaya Kusuma dan menjadi gedung kesian
yang paling representatif di Malang
dengan fasilitas panggung utama dan dua panggung samping serta balkon
untuk penonton dan akustik ruang, yang sangat indah.
Banyak grup-grup besar tanah air
pernah bahkan mengawali kariernya dari sini, seperti Srimulat, Lokaria, dan
Ketoprak Siswobudoyo.masih banyak gedung kolonial dan tradisional yang sangat
bersejarah, yang patut kita ketahui sekaligus kita lestarikan keberadaannya,
saya sangat berharap bangunan-bangunan tersebut dapat terlindungi sesuai dengan
konvensi UNESCO tentang World Heritage
Site. Yang bisa melindungi adalah masyarakat (pemilik) dan peraturan
(pemerintah).
Jika keduanya mempunyai komitmen
menjaga dengan jelas dan berkelanjutan, maka di masa depan, Insyaalloh akan
terjaga demi kepentingan anak cucu kita lima puluh tahun lagi.
KISAH
SEJARAH KOTA MALANG YANG TAK BANYAK TERUNGKAP (9)
Jati Diri Di
Sosok Ken Dedes dan Topeng Malang
Sebuah daerah dikenal karena ada
cirri pembeda dengan daerah lain. Tersebutlah kata jati diri. Topeng Malangdan
Ken Dedes sebagai ibu para raja adalah sebagian kecil jati diri Malang.
Pada saat rapat program kerja
nasional 2012 di Jawa Timur tentang pembentukan travel pattern (pola perjalanan
wisata), setiap kota di Jawa Timur mengajukan usul yang beragam. Tetapi, usul
beragam itu harus membentuk satu linkage system yang komprehensif.
Pada prinsipnya tourist attraction
(objek wisata) tidak dapat dipisahkan oleh batas administrasi territorial.
Seperti Gunung Bromo, wisatawan tidak akan terlalu peduli gunung tersebut masuk
wilayah Malang, Pasuruan, Probolinggo atau Lumajang. Yang mereka pedulikan,
bagaimana dapat menuju ke sana dengan nyaman dan aman.
Tetapi setiap wilayah memang harus
mempunyai diferensiasi guna distinguisged brand identification yang kadang
bukan muncul dari slogan yang digembar-gemborkan, tetapi pengamatan jujur dari
tourist’s eyes.
Demikian juga Malang (bukan wilayah
administrative Kota Malang, kabupaten atau Batu).
Tapi Malang sebagai satu kesatuan
territorial image yang mempunyai icon melekat sejak dikunjungi dan ditulis
dalam berbagai expedition (Raffles, 1826). Yakni, Singhasari, Kanjuruhan,
Kendedes dan Topeng Malangan.
Pasti semua orang Malang sudah
paham betul, siapa Kendedes, Kerajaan Singhasari, Kanjuruhan, atau topeng
Malangan. Tetapi tidak ada salahnyakali ini kita bahas sekali lagi untuk
me-refresh ingatan tentang nenek moyang yang telah ikut membentuk siapa kita
sekarang,
Pada zaman prasejarah, secara
geologis dataran tinggi Malang berawal dari endapan lava beku dab lempeng hitam
bekas aliran lava yang membentuk suatu danau purba. Danau itu selanjutnya
berubah menjadi datran tinggi Malang (J.Mohr, dalam Mustopo, 2002).
Masa peradaban perunggu-besi dan megalithik di Malang sekitar abad VI sebelum
Masehi-telah lahir seni bangun dan seni patung. Peninggalan Megalithik bisa
kita lihat di Watu Gong, Desa Dinoyo (Blasius, 2009) yang berbentuk seperti
kenong (alat musik gamelan) dan mirip lesung (stone mortar).
Menurut penelitian
Dr. Williem, Batu merupakan umpak dari bangunan prasejarah. Setelah sekian lama
berselang, keberadaan Malang sebagai satu daerah, muncul kembali dengan adanya
Candi Badut. Candi Badut adalah salah satu candi tertua di Jawa Timur.
Gaya bangunannya
sejenis dengan candi-candi di Dieng Jawa Tengah. Candi yang berada di Barat
Laut Kota Malang ini terletak di Desa Badut dan ditemukan secara tidak sengaja
pada tahun 1921 oleh Mr.Maurenbrecher. Pada waktu itu, ia menjabat sebagai
kontrolir BB (pamong praja jaman kolonial).
Peninggalan dan
penyelidikan dilakukan pada tahun 1925 dan selesai tahun 1926. Candi yang
mempunyai ukuran kamar induk 3,35 meter dan 3,67 meter serta mempunyai ragam
hias Kala Makara di pintu gerbang, Kinnara dan Kinnari pada pintu tangga, serta
ragam hias bunga-bungaan (floralistie ornament) di dinding candi, seharusnya
terdapat arca Durga Mahisasuramardini di utara. Selain itu juga harus ada arca
Ciwa Guru di selatan, Ganeca di timur dan Lingga Yoni di pusat kamar candi.
Namun, sekarang
yang ada hanya arca Lingga Yoni. Meski masih belum jelas Lingga Yoni di sini
apakah Lingga Yoni yang disebutkan dalam prasasti Dinoyo 682 Caka. Prasasti
Dinoyo sebelum dibawa ke museum Nasional di Jakarta.
Arca itu ditulis
dalam bahasa Sansekerta dengan huruf jawa kuno berangka tahun dalam bentuk
Candra Sangkala. Bunyinya Natana Vasurasa yang berarti 682 Caka atau 760 M.
Prasasti ini menyebutkan adanya raja bernama Devasimha yang mempunyai putra
Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan dan mempunyai cucu bernama Uttijana akan
mengganti arca Agastya yang terbuat dari Kayu Cendana dengan arca yang terbuat
dari batu hitam dan membuat candi (kemungkinan candi Badut) yang indah.
Nama Badut sendiri
berasal dari nama Liswa, dalam bahasa Sansekerta berarti pelawak (Badut).
Terus, siapa Ken
Dedes itu? Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa Ken Dedes adalah istri dari
Raja Singhasari Sang Amurwabhumi atau populer dengan nama Ken Arok. Ken Dedes
juga terkenal dengan kecantikannya, sehingga banyak pihak menganggap arca
cantik Prajnaparamitha ini adalah identifikasi perwujudan dari putri Ken Dedes.
Memang disebutkan
Ken Dedes adalah penganut agama Budha Tantrayana yang taat dan pandai ilmu
agama sehingga pendapat tersebut tidaklah terlalu berlebihan. Terlebih mengacu
pada ketaatan Dewi Prajnaparamitha, yang merupakan salah satu Dewi dalam cerita
Budha.
Penemuan arca yang
aslinya terdapat di kompleks Candi Singhasari dan sekarang disimpan di Museum
Nasional Jakarta-membuktikan bahwa Malang merupakan pusat kerajaan besar di
wilayah Jawa. Tentunya yang menguasai daerah sekitarnya (Prasasti Mula-Malurung
1255 M).
Selain secara
arkeologis ditemukan pathirthan (pemandian) yang kini disebut sendang Ken Dedes
di Singosari, juga terdapat situs di daerah Polowijen (Ponowijian). Daerah
Polowijen juga merupakan tempat tinggal seorang biksuni Budha Tentrayana, tak
lain adalah Ken Dedes dan orang tuanya Mpu Parwa.
Ken Dedes dalam
kitab Nagara Kertagama disebut sebagai wanita Nareswari, seorang wanita yang
akan menurunkan raja-raja. Siapapun yang menikahinya akan menjadi raja. Itulah
sebabnya Ken Arok berusaha keras untuk menikahinya meskipun harus mengorbankan
banyak nyawa.
Keturunan Ken Dedes
antara lain Raja Anusapati (meninggal 1248 M dan sosoknya dicandikan di Candi
Kidal), Panji Tohjaya (meninggal 1250 M), Rangga Wuni (Abhiseka Wisnuwardhana
meninggal tahun 1270 M dan dicandikan di Candi Jago), Mahesa Campaka (Bhatara
Narasingamurti), serta Kertanegara (1254 M).
Duplikat patung Ken
Dedes ditempatkan di sebelah kiri pintu masuk Kota Malang, bertujuan agar para
pendatang yang memasuki Kota Malang mengetahui bahwa raja-raja besar di Jawa
adalah keturunan orang Malang.
Selanjutnya, image
yang terbentuk dari Malang lainnya adalah topeng Malang. Menurut saya, jika
sekarang ditanya apa ikon yang menjadi ciri khas Malang, pasti 75 persen orang
Malang menjawab Topeng Malang. Sebelum semua bersuara topeng Malang harus
dilestarikan, diselamatkan, bahkan dikembangkan, ada baiknya mencoba untuk
mengetahui terlebih dahulu apa, siapa, dan bagaimana topeng Malang itu.
Saya ada sedikit
data yang saya rangkum dengan wawancara dan studi literatur sejak tahun 1998.
Topeng adalah penutup wajah dalam pertunjukan wayang topeng yang bermakna
lambang jasmani atau badan yang tampak (Zoetmulder, SY 1989:213/Serat Centini
V, 347-349).
Wayang Topeng
Malang mempunyai ciri khas di bidang kesenirupaan, tata busana, iringan musik
gamelan dan cerita yang dimainkan (Supriyanto, 2004:12). Cerita Topeng Malang
yang digunakan penari, pengukir dan Ki Dalang bersumber pada ragam sastra lisan
cerita Panji yang ruang, waktu dan suasananya mengacu pada peristiwa sejarah
pada jaman Singhasari, Kediri, Daha dan Tanah Seberang Jawa (Tanah Sebrang)
jaman Prabu Airlangga (1019-1041 M) dan Prabu Jayabaya (1130-1157 M).
Dalam Kitab Negara
Kertagama, pupuh 91 baik 4 juga sudha dikenal dari topeng , yang
menyebutkan:”Bahwa para pembesar ingin beliau menari topeng. Ya jawab beliau”.
Cerita panji sendiri ada beberapa versi antara lain : Hikayat Panji Kuda
Semirang, Panji Semirang, Galuh Digantung, Cekel Wanengpati, Misa Taman Jayeng
kusuma, Dewa Asmara Jaya, Undakan Panurat dan Panji Kamboja (Poerbatjaraka,
1968).
Perkembangan topeng
di Malang menurut beberapa sumber berawal sekitar tahun 1898, saat Kabupaten
Malang dipimpin Raden Bagoes Mohamad Sarib yang bergelar Raden Adipati Ario
Soerio Adiningrat.
Menurut Ridder der
Officer oranje Nassau, terdapat dua orang dalam satu perguruan topeng, yaitu
mbah Reni (Polowijen) dan mbah Gurawan (Sumberpucung). Tjondro alias Mbah Reni
adalah abdi dalem Kabupaten Malang yang dikenal sebagai dalang, penari dan
pengrajin topeng.
Semasa beliau
(Raden Adipati Ario Soerio Adiningrat), grup topeng yang terkenal berasal dari
Pusangsanga Kawedanan Tumpang. Selain itu ada beberapa kumpulan wayang topeng
seperti, Mbah Tirtowinoto (Jabung), Mbah Rusman dan Mbah Sapuadi (Precet).
Lalu, ada kumpulan
di Desa Wangkal, Glagah Dowo, Gubug Klakah, Dhuwet, Dhumpul, Jabung, Senggreng,
Kademangan, yang selanjutnya diteruskan oleh Rakhim, Rasimun, Gimun, dan
Djakimin (Supriyanto-Adi Pramono, 1997). Sedangkan Mbah Gurawan mempunyai murid
Mbah Marwan, buyut dari Mbah Karimun, cikal bakal topeng di Kedung Monggo,
Pakisaji Kabupaten Malang.
Mbah Karimun pada
waktu kecil bernama Paryo. Karena sering sakit-sakitan, namanya diganti menjadi
Karimun. Mbah Karimun lahir tahun 1910. Orang tuanya, Kimun dari Ponorogo, dan
Ibu Jamik dari Bangil, Pasuruan, tinggal di Desa Bangelan, Pakis.
Topeng Kedung
Monggo sendiri berawal dari kakek Mbah Karimun yang bernama Ki Serun, seorang
warok asli Ponorogo yang terpaksa mengungsi ke Malang karena dikejar oleh
tentara Belanda. Dia lalu menetap sebagai Kamituwo di Kedung Monggo setelah
berganti nama Ki Semun. Dia tinggal beserta istrinya, Mbah Murinah dan Mbah
Waginah.
Mulai tahun 1933
mendirikan sanggar bernama Pendowo Limo. Tahun 1978 berganti nama sanggar
Asmoro Bangun yang berarti Cinta Kebaikan. Sejak saat itu Mbah Karimun mengajar
di berbagai sanggar, antara lain di Desa Genengan, Kaseran, Sutojayan,
Wonokerto, Palakan, Plaosan, Kranggan, Nglowok, dan Ngajum (Karimun,
2000-2007).
Lakon Induk yang
sangat populer adalah lakon “Rabine Panji”. Lakon ini mengisahkan Perkawinan
Panji Reni dengan tokoh utama Panji Inukertapati, Dewi Anggraeni dan Dewi
Sekertaji.
Jumlah Topeng
Malang yang asli adalah 6 buah, yaitu Klono, Bapang, Panji, Sekartaji,
Gunungsari, dan Ragil Kuning. Enam atau Nem berarti nemen olehe ngudi
berkembang menjadi 40, selanjynta 140 jenis. Sedangkan ragam hias pada topeng,
antara lain ragam hias urna (pada bagian kening), ragam hias dahi (menunjukkan
sifat kebangsawanan, seperti melati, kantil, dan teratai), dan ragam hias
jamang (irah-irahan, tutup kepala).
Warna pada topeng
menunjukkan karakter tokoh dalam dunia pewayangan. Warna putih menggambarkan
jujur, suci dan berbudi luhur. Lalu kuning menggambarkan kemuliaan, hijau
menggambarkan watak satria dan warna merah untuk raksasa, menggambarkan angkara
murka (Sunari, 2002).
Pembukaan wayang
topeng khusus di Tumpang menggunakan tari pembuka Beskalan atau Srimpi Limo.
Sedangkan di Malang, sekarang banyak sekali versi untuk berbagai kepentingan.
Dengan sedikit data
yang sederhana ini, perlu langkah untuk melestarikannya dengan tepat sasaran.
Topeng tidak hanya dicetak dari plastik tanpa tahu bentuk kayu aslinya. Atau
dipresentasikan di kota besar tanpa tahu alamat pengrajin sebenarnya. Yang
harus dihindari betul adalah, menjadikan topeng sebagai komoditas penghasil
rupiah tanpa pernah “menyentuh” nasib para pahlawan-pahlawan topeng. Padahal
mereka tetap menjaga warisan budaya, mempertahankan kemurnian budi pekerti
bangsa.
Nah, sekarang semua
fakor distingushed brand telah dikupas, apa langkah selanjutnya? Sebagai
penguat akar budaya dan penggerak utama pariwisata, faktor ciri khas lokal
konten menjadi jawabannya.
Banyak langkah yang
bisa dilakukan menuju ke arah sana. Misalnya identifikasi perbedaan Malang
dengan kota lain. Tapi yang paling sederhana dan bisa dilakukan secara
bersama-sama, adalah langkah peduli dengan sesuatu yang dekat dan selalu
bersinggungan dengan kita. Yaitu straatnamen (nama-nama Jalan) di Malang.
Kita punya
Kayutangan, Temenggungan, Polehan, Comboran, Kidul Dalem, Mergosono, Kotalama
dan banyak lagi. Itu merupakan aset lokal-konten yang tidak dimiliki oleh
kota-kota lain.
Sekarang telah
diganti dengan nama-nama baru yang tidak mempunyai nilai pembeda dengan kota
lain. Masalahnya, punyakah kita keinginan untuk mengembalikan nama-nama jalan
yang menjadi jati diri Malang? Besar kemungkinan nama-nama asli itu masih
dicintai oleh masyarakat Malang sampai sekarang. Mau bukti? Meskipun telah
diganti lebih dari 10 tahun, masyarakat asli Malang tetap bangga berkata,”Sorry
jes, ayas kera Onosogrem (Mergosono)”.
sumber: http://pattiromalang.blogspot.co.id/2012/04/kisahsejarah-kota-malang-yang-tak.html