Jalan Ijen
Kawasan Paling Indah Bafgi Hindia Belanda
Perancanaan pembangunan Kota Malang
telah dirumuskan secara detail mulai tahun 1917 sampai 1929. Nah, ada delapan
tahapan dalam perencanaan Kota Malang. Termasuk perumahan pertama yang berada
di daerah Celaket hingga mengapa perumahan elit Jalan Ijen berada di wilayah
barat balai kota?
Sering kali terdengar banyak slogan
tentang Malang. Entah dari seorang guru yang sedang mengajar, para pemandu
wisata atau pejabat pemerintahan yang mengatakan Malang Kota Bunga, Malang Kota
Pendidikan, Malang Paris Van Java (mungkin maksudnya Jawa Timur), Malang Kota
Pegunungan, kota transit, kota pension dan banyak sebutan lainnya yang membuat
kita berpikir.
Gerbang Makam
Eropa Kini Tertutup SPBU
Sebenarnya slogan, predikat atau
sekarang dikenal dengan branding itu
sengaja ditetapkan atau karena ikut-ikutan ada orang iseng yang menyebut
pertama diikuti yang lain. Kemudian menjadi trend
dan officially became a city image?
Begitukah?
Bukan! Sama sekali bukan, apalagi
karena iseng. Semua sebutan di atas ada yang secara resmi ditetapkan. Seperti
Malang Kota Pendidikan, Industri, dan Pariwisata (dikenal sebagai Tri Bina
Cita) ditetapkan oleh DPRD gotong royong pada 1962. Sebutan Kota Pegunungan pada
1937 pada saat Ir. Karsten mengikuti rencana desain Kota Malang ke Paris
sebagai kota dengan konsep pegunungan.
Sebutan kota pension pada tahun
1900 setelah Belanda gagal uji coba kota pension di Tengger (Pasuruan) untuk
pensiunan Tentara Belanda. Ada juga yang memang berdasar pada performa
keindahan kota yang tampak terus menerus, sehingga mempengaruhi publik, seperti
sebutan de Bloemenstad (Kota Bunga)
pada 1922 sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah Kotapraja Malang waktu
itu yang berkonsentrasi membangun semua taman-taman kota dengan bermacam-macam
tanaman yang membangun Cultuurschool
(Sekolah Pertanian/SPMA) yang mempunyai tugas menanamkan cinta tumbuhan pada masyarakat Malang.
Sebutan lain yang menjadi dasar
dari semua predikat Kota Malang adalah Malang Kota Indah. Malang memang indah
tanpa harus ditetapkan semua orang. Salah satu alasannya menurut saya adalah
sisi topografi. Kota Malang dikelilingi empat gunung berapi, Semeru, Tengger,
Kawi, dan Arjuno sekaligus dibelah oleh tiga sungai besar, Brantas, Amprong,
dan Bango.
Alas an lain tentunya disebabkan leadership dan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan. Banyak sekali hubungan konsep, perencanaan, dan predikat
yang dapat dipelajari. Tetapi kali ini saya akan mencoba menggali langkah-langkah
yang telah ditetapkan pemerintah Kotapradja Malang dalam merencanakan
pembangunan Kota Malang sekitar tahun 1917 sampai 1929.
Kenapa? Karena masa itu adalah masa
pembangunan pondasi Kota Malang. Pondasi tersebut dibagi menjadi delapan bagian
yang masing-masing disebut dengan Bouwplan
I sampai VIII.
Tahapan
Perluasan Kota Malang
Bouwplan
I (rencana perluasan pembangunan kota yang I) dengan luas 12.939 meter persegi.
Perkembangan kota yang cenderung ke arah utara sepanjang jalan utama
Malang-Surabaya harus segera menjadi bahan pertimbangan, Karena penyebaran
pertumbuhan kota akan tidak seimbang antara daerah utara, selatan, dan timur.
Untuk itu, pada 13 April 1916 gemeenteraad (dewan kota) memutuskan
untuk membangun perumahan pertama dimulai dari Celaket ke arah timur sampai
Lapangan Rampal. Perumahan tersebut diperuntukkan golongan orang Eropa yang
diberi nama daerah Oranjebuurt
(daerah orange atau daerah dengan nama anggota keluarga kerajaan Belanda).
Sekarang dikenal dengan nama daerah jalan Pahlawan.
Nama-nama jalan yang dipakai antara
lain, Wilhelmina Straat (Jalan dr. Cipto), Juliana Straat (Jalan R.A Kartini),
Emma Straat (Jalan dr.Sutomo), Willem Straat (Jalan Diponegoro), Maurits Straat
(Jalan M.H Tamrin), Sophia Straat (Jalan Cokroaminoto).
Sedangkan bouwplan II (rancana perluasan pembangunan kota yang II) seluas
15.547 meter persegi. Pada pembahasan kelahiran Malang yang lalu saya menyebut
dengan kelahiran prematur, karena belum mempunyai fasilitas pemerintahan
sendiri.
Sekarang pada perencanaan perluasan
kota kedua dasar pemikirannya adalah sebagai kota yang telah memerintah
daerahnya sendiri dan harus mempunyai daerah baru yang diperuntukkan sebagai
pusat pemerintahan. Sedangkan pusat pemerintahan yang lama (alun-alun kota)
sudah dirasakan terlalu padat.
Daerah baru yang ideal adalah
daerah dengan tanah yang luas berbentuk bundar yang kemudian dinamakan JP Coen Plan (sekarang alun-alun
Bunder). Pada 26 April 1920 Gemeente
Malang membuat rencana perluasan II yang dinamakan Gouverneur-Generaalbuurt (daerah gubernur jendral) dengan nama
daerah seperti , Daendels Boulevard (Jalan Kartanegara), Van Onhoff St (Jl
Gajahmada), Spellman St (Jl Majapahit), Maetsuucker St (Jl Tumapel), Riebeeck
St (Jl Kahuripan), Van Oudthoorn St (Jl Brawijaya), Idenburg St (Jl Suropati),
Van Den Bosch St (Jl Sultan Agung), Van Heutz St (Jl Padjajaran), dan Van Der
Capellen St (Jl Sriwijaya).
Setelah pembuatan dua pusat kota,
timbul kekhawatiran akan terjadi perpecahan. Karena itu dibuatkan jalan
penghubung di antara keduanya, yakni Maetsuucker Straat (sekarng Jalan
Tumapel).
Sedangkan bouwplan III dengan luas 3.740 meter persegi. Salah satu syarat
hunian yang baik adalah adanya tempat pemakaman untuk orang Eropa yang hidup di
Malang. Awalnya akan ditempatkan di Bareng, kemudian Kauman dan Lowokwaru dan
akhirnya diputuskan di daerah Sukun dengan pertimbangan saat itu adalah daerah
luar kota yang sangat jarang penduduknya. Sampai sekarang gerbang makam Eropa
di Sukun masih kelihatan berdiri megah meskipun di depannya tertutupi oleh
stasiun pompa bensin.
Kalau saat dibangun dasar pertimbangannya
adalah daerah pinggiran kota yang jarang penduduknya, sekarang di sana
merupakan salah satu daerah langganan macet karena kapasitas jalan sudah tidak
dapat menampung ledakan jumlah penduduk dan kendaraan bermotor.
Kemudian, apa kuburan itu harus
direlokasi lagi? Kemana? Sekarang dengan perkembangan kota dan kabupaten yang
pesat, sangat sulit untuk menemukan lahan luas untuk tempat pemakaman tanpa
bersinggungan dengan kepentingan warga setempat.
Sedangkan bouwplan IV seluas 41.401 meter persegi. Rencana perluasan kota ini
adalah program penyeimbang dari bouwplan
I dan bowplan II yang membangun
perumahan bagi kalangan Eropa dengan membangun perumahan kelas menengah ke
bawah.
Perluasan ini berada di antara
sungai Brantas dan jalan sepanjang kea rah Surabaya yang pada awalnya merupakan
daerah kampong kecil yang terletak antara kampong Celaket dan Lowokwaru.
Penataan pemukiman ini terbilang teratur karena hampir semua fasilitas terdapat
di sana. Mulai tempat pemakaman 62.045 meter persegi (Samaan), sekolah dan
lapangan olahraga.
Pada perencanaan init telah
diterapkan konsep desainer Ir. Karsten yang menganjurkan jalur pembangunan
dengan pemandangan sungai yang indah ke arah barat laut. Sayang konsep besar
ini belum bisa dilaksanakan dengan baik karena saat itu Karsten masih belum
resmi menjadi penasehat Kotapradja Malang.
Bouwplan
V seluas 16.768 meter persegi. Perluasan kali ini menurut saya adalah
pembangunan perluasan kota paling spektakuler. Bagaimana tidak, pembangunan
Jalan Ijen dan fasilitas stadion yang dibangun pada 1920 dijadikan model jalan
paling indah oleh Hindia Belanda pada saat itu dan masih ideal untuk model tata
pemukiman sampai 2012 ini.
Pemikiran membuat kota satelit telah mulai dipikirkan.
Jadi beberapa pendapat yang mengatakan bouwplan
V ini dibangun karena sudah tidak terdapat lagi lahan yang memenuhi syarat
adalah tidak sepenuhnya benar. Pengembangan kea rah timur terbentur oleh rel
kereta api dan tangsi militer yang ditempatkan di daerah Rampal. Ke arah
tenggara terhalang dengan kuburan China
(kuto bedah), ke selatan akan bertemu dengan emplasemen MSM (Malang Stoomtram Maatschappij). Kalau ke
utara permasalahan klasik akan muncul adalah kota akan berkembang hanya pada
poros jalan Malang-Surabaya yang notabene harus malah diredam pertumbuhannya.
Ya. Jawabnya memang hanya ada satu,
Barat! Tetapi pilihan pengembangan ke arah barat tidak semata-mata karena
keterbatasan lahan pengembangan. Coba renungkan sebentar. Untuk menunjukkan
Malang Kota Pegunungan, dipersiapkan lahan di ujung Jalan Semeru (sekarang
dibangun Museum Brawijaya pada tahun 1967 dan diresmikan 4 Mei 1968 dengan
rancangan arsitek Kap. CSI Ir. Soemadi).
Kemudian sepanjang Jalan Semeru
jika dilihat dari udara akan terlihat seperti tertarik garis lurus dengan ending di depan stasiun kereta api
melewati tepat di tengah alun-alun bunder. Nah,
kalau begitu masak sih bouwplan V ini
dibangun karena keterbatasan lahan?
Alasan yang lainnya, unsur utama
pembangunan yang terdiri atas Jalan Ijen, stadion dan pembuatan jalan pemecah
ke pusat kota, alun-alun bunder dan alun-alun kota (sekarang Jalan Kawi) adalah
solusi kebuntuan arus lalu lintas dan berusaha tetap mempertahankan keramaian
daerah yang lama. Sehingga dengan dibangunnya daerah baru, daerah yang lama
tetap akan merasa menjadi satu.
Sementara bouwplan VI dibangun di atas lahan 220.901 meter persegi.
Pergeseran alun-alun kota juga terlihat dari gejala perluasan daerah pertokoan
di daerah utara menuju ke arah Oro-Oro
Dowo, Kayutangan dan Rampal. Lambat laun perluasan tersebut akan meninggalkan
daerah Pecinan yang bersejarah.
Hal ini tidak dikehendaki oleh
Karsten sebagai penasehat kota waktu itu. Gejala tersebut dapat dicegah dengan
memberikan perhubungan yang lebih baik pada bagian tenggara kota untuk
keperluan lainnya yang bermanfaat yang banyak mengurangi tekanan lalu lintas di
daerah baru.
Ide inilah yang menyebabkan
munculnya rancangan perluasan kota ke VI yang dikenal dengan daerah Eilandenbuurt (daerah pulau-pulau).
Seperti Lombok Weg, Java Weg, Soemba Weg, Bawean Weg dan lain-lain. Dalam
perkembangan pembangunan kota kali ini konsentrasi pemerintah selain pada
pembangunan daerah pulau-pulau, juga pembangunan pasar.
Sebelum tahun 1914, di Malang hanya
ada satu pasar milik swasta di Pecinan. Dewan wilayah yang berkedudukan di
Pasuruan hendak membangun pasar di daerah Kayutangan, tetapi akhirnya mengambil
alih pasar Pecinan dan mulai dibangun pada 1920. Sekarang kita kenal sebagai
Pasar Besar.
Selanjutnya dibangun pasar di kampong-kampong,
Pasar Bunulrejo, Kebalen, dan Oro-Oro Dowo pada 1932, Pasar Embong Brantas dan
Lowokwaru tahun 1934, sedangkan Pasar Dinoyo dan Pasar Blimbing dibangun
Januari 1940.
Pada bouwplan VII yang direncanakan di atas luas 252.948 meter persegi
merupakan lanjutan dari bowplan V,
yaitu pembangunan kawasan Ijen yang lebih ditekankan pada pembangunan rumah
ukuran besar (villa). Sampai sekarang rumah-rumah di Jalan Ijen masih tetap
ukurannya. Hanya sayang desain arsitekturnya telah berubah sama sekali.
Satu-satunya tambahan pada tahap ini adalah pembangunan lokasi pacuan kuda
terbesar di Indonesia yang pada tahun 1938 pernah menjadi tuan rumah
diadakannya Kabore Kepanduan Sedunia.
Pada bouwplan VIII dengan luas 179.820 meter persegi, zonanisasi industry telah dimulai pada
tahapan pembangunan ini. Malang telah dirasakan telah menjadi daerah yang
sangat diminati oleh investasi asing. Untuk itu perlu secepatnya dilakukan
penyediaan lahan untuk daerah industri.
Daerah itu berada di wilayah yang
berdekatan dengan jalur kereta api (Stasiun Kotalama) emplasemen kereta dan trem untuk menunjang kegiatan industri.
Perusahaan yang kali pertama menempati adalah BPM dan Faroka. Selanjutnya
kawasan industri diperluas di daerah Blimbing.
sumber: http://pattiromalang.blogspot.co.id/2012/04/kisahsejarah-kota-malang-yang-tak.html
0 Comment:
Posting Komentar