• MALANG KUçEçWARA‬ • MALANG NOMINOR SURSUM MOVEOR • MALANG BELONGS TO ME •

20 November 2015

KISAH SEJARAH KOTA MALANG YANG TAK BANYAK TERUNGKAP (Part 4)

Empat Tahun Pemerintahan Kota Ngurusi Ke Bantur
Kondisi Kota Malang luluh lantak  dalam peristiwa bumi hangus tahun 1947, Pemerintah Kota Malang pun morat-marit dan pegawai dibagi dalam dua kelompok. Dan, tahukah jika pemerintahan kota sempat pindah ke Bantur, Malang Selatan. Mengapa itu dilakukan? Serta berapa bangunan yang hancur dalam peristiwa 1947?
Kalau Bandung lautan api ada lagunya, sedangkan Malang tidak punya. Jadi kurang dikenal atau kalah ngetop dengan Bandung. Semua tahu pada 1945 Indonesia sudah merdeka, tapi masih belum sepenuhnya diakui oleh dunia internasional.
Sehingga Belanda masih mengklaim sebagai negara jajahannya setelah direbut Jepang tahun 1942. Dua tahun setalah itu, Belanda memutuskan untuk kembali menguasai daerah Jatim, khususnya Malang. Karena sesuai sifat dasarnya sebagai daerah pertahanan, Malang harus dikuasai dulu baru kota lain.
Kota Paling Aman, Tokoh Nasional Berkumpul Dalam Kongres KNI
Namun, peperangan yang hanya memakan waktu beberapa hari itu mengubah wajah kota dan menorah tinta sejarah yang demikian dalam. Detik-detik peristiwa tersebut  sangat menegangkan. Jika skenarionya diadopsi menjadi sebuah naskah film, maka akan menjadi film kolosal yang menegangkan.
Peristiwa tersebut berawal pada 31 Juli 1947 sekitar pukul 03.00. Tentara Belanda melakukan penyerangan yang sangat hebat di Kota Malang sampai akhirnya status Malang yang sebelumnya kota merdeka, kembali menjadi kota pendudukan Belanda.
Peristiwa tersebut dikenal dengan nama aksi militer atau Crash I. sebelum kedatangan pasukan Belanda di Malang, hampir 1.000 bangunan Belanda dibumihanguskan termasuk Balai Kota Malang (Bleed van en Stad) dan pemerintahan kota dipindah sementara ke Palace Hotel (sekarang Hotel Pelangi).
Selanjutnya pegawai dibagi menjadi dua golongan, golongan luar kota, dan golongan yang berjuang di dalam kota. Setelah dirasa kondisi sangat tidak memungkinkan, sebagian besar pindah ke Sumberpucung dan Gondanglegi. Pemerintahan kota akhirnya juga dipindah di Bantur sampai terjadi Clash II pada 1948.
Pejuang yang tergabung dalam tentara pelajar TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) banyak yang gugur  meninggalkan bekas ‘massagraf’ di Jalan Salak (Jalan Pahlawan Trip). Rakyat sendiri mengungsi ke daerah selatan (Tumpang, Wajak, Turen, Gondanglegi, Pakisaji, Kepanjen sampai Blitar) dan daerah barat (Batu, Pujon, dan Ngantang) sampai penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949.
Sebelumnya pada September 1949 beberapa orang dari Malang Selatan, antara lain Letkol Dr. Soedjono diundang ke Surabaya untuk menerima pengembalian daerah karesidenan Malang termasuk Kota Malang. Pemerintahan Kota Malang kembali di gedung balai kota pada tanggal 2 Maret 1950.
Sementara itu ketentaraan dan kepolosian telah mendahului memasuki kota dan bermarkas di Hotel Trio (bekas kantor dispenda depan Stasiun Kota Baru). Dari perintiwa itu telah memunculkan nama-nama pahlawan lokal, antara lain Hamid Roesdi.
Hamid Roesdi, Pahlawan Tiga Masa
Hamid Roesdi dikenang sebagai sosok pahlawan tiga masa. Yakni, masa penjajahan Belanda, Jepang, dan kemerdekaan yang sangat konsisten memperjuangkan hak-hak rakyat. Beliau lahir pada Senin Pon 1911 di Desa Sumbermanjingkulon, Pagak, Kabupaten Malang.
Pada masa penjajahan Belanda, dia sangat aktif di bidang kepanduan dan tergabung dalam “Pandu Ansor”, karena beliau juga seorang guru agama sekaligus staf Partai NU. Beberapa tahun kemudian bekerja di Malang sebagai sopir di Penjara Besar Malang (LP Lowokwaru).
Pada 8 Maret 1942 Jepang memasuki Kota Malang dan mulai memerintahkan membuat barisan Heiho, Seinedan, Keibodan, dan Djibakutai sekaligus melakukan tekanan fisik pada rakyat. Melihat situasi itu, Hamid Roesdi keluar dari pekerjaannya dan memulai membela nasib rakyat dengan menyusup ke PETA (Pembela Tanah Air) pada 1943 yang dibentuk atas usul Gatot Mangkupraja. Dia ditugaskan di Malang dengan pangkat Sudanco (Letnan I).
Selain berlatih militer, dia juga sibuk mempersiapkan lascar rakyat untuk menentang Jepang. Pada malam hari tanggal 3 September 1945 diumumkan daerah Karesidenan Surabaya masuk wilayah RI, Hamid Roesdi mulai melucuti tentara Jepang di Malang. Pada 1946 menjabat sebagai perwira staf Divisi VII Suropati dengan pangkat mayor dan bertempat tinggal sementara di Jalan Semeru (sekarang Bank Permata).
Dianggap berhasil menangani pelucutan tentara Jepang, kamudian diangkat sebagai Komandan Balyon I Resimen Infanteri 38 Jawa Barat dan menyelesaikan pertempuran di sana dengan sukses. Sekembalinya dari Jawa Barat dinaikkan pangkatnya letnan colonel menjadi komandan pertahanan daerah Malang di Pandaan-Pasuruan.
Pada Clash I 1947 Hamid Roesdi dengan gigih memimpin pasukan mempertahankan Kota Malang dari Tentara Belanda. Sebelum Belanda memasuki Pandaan, Hamid Roesdi berkeliling kota menaiki jeep untuk memerintahkan seluruh rakyat membumihanguskan bangunan Belanda.
Ketika Kota Malang tidak dapat dipertahankan lagi, beliau membuat pertahanan di Bululawang dan menyusun strategi merebut Malang kembali. Tengah malam, 8 Maret 1949, kondisi perang sangat genting. Hamid Roesdi datang dan berpamitan pada istrinya, Siti Fatimah. Itulah pertemuan terakhir dengan istrinya dan tidak pernah kembali lagi selama-lamanya (biografi pahlawan Hamid Roesdi, Bintaldam V Brawijaya 1989).
Istilah Perwira Dan Taruna Lahir Dari Malang
Selain pahlawan Hamid Roesdi, peran penting dalam pertempuran 1947 adalah pasukan TRIP yang tergabung dari beberapa sekolah. Pada saat pendudukan Jepang di Jawa Timur 1942, telah banyak pelajar yang aktif mengikuti latihan perang-perangan di sekolah. Dan setelah Jepang menyerah terjadi pelucutan senjata, lahirlah organisasi-organisasi pelajar di Surabaya. Saat insiden bendera di Oranje Hotel 19 September 1945, para pelajar mulai aktif dan mulai mengeluarkan perintah tempur. Pada 5 Oktober 1945 terbentuklah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pelajar, selanjutnya berubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pelajar dengan komandan Mas Isman dengan Batalyon 1.000-5.000 meliputi Surabaya, Mojokerto, Bojonegoro, Madiun, Kediri, Blitar, Jember, dan Malang.
Pada tahun 1949 kekuasaan TRIP berpusat di Blitar. Kapten Sukamto ditunjuk sebagai local joint committee united nation. Dan pada 1949-1950 TRIP Jawa Timur dimobilisir lewar Brigade 17 (Kopex 17). Di malang terdapat monumen perjuangan TRIP untuk menghormati tentara pelajar yang menjadi korban pertempuran di Jalan Salak (Jalan Pahlawan TRIP) melawan Belanda pada 31 Juli 1947. Sekarang monumen tersebut berdiri tegak di sekitar Jalan Ijen berdampingan dengan monumen Melati yang berada tepat di poros Jalan Ijen dengan tinggi 7 meter dengan bunga Melati di pundaknya.
Monumen ini adalah bentuk penghargaan terhadap sekolah darurat awal pembentukan TKR (sekarang TNI) di daerah yang diberi nama Sekolah Tentara Divisi VIII pada tahun 1946. Namun Divisi VIII berganti nama menjadi Sekolah Tentara Divisi VII Suropati dengan simbol melati.
Di Malang sekolah ini lebih dikenal dengan nama Sekolah Kadet Malang, karena siswanya biasa disebut dengan Kadet. Gagasan pendirian sekolah ini berawal dari Kepala Staf Operasi Divisi VIII Mayor Mutakad Hurip setelah beliau pulang dari pertempuran di Surabaya yang pertama atau sebelum meletus pertempuran kedua 10 November 1945.
Pembukaannya diumumkan oleh Mayor Jendral Imam Sujai selaku komandan divisi VIII pada awal Novemnber 1945. Ditegaskan lulusan Sekolah tentara Divisi VII Malang sama dan sederajat dengan akademi militer di Yogyakarta. Istilah Perwira pengganti Opsir dan istilah Taruna pengganti Kadet diakui nasional juga terlahir dari Malang. Karena Kota Malang dalam bidang istilah bahasa memang selangkah lebih maju.
Hal ini dapat dilihat pada syair lagu mars kadet Malang yang berjudul “Mars Taruna Perwira” (Moehkardi, 1979:192). Sekolah Tentara mula-mula menempati bekas gedung Meisjes HBS, beberapa bulan kemudian pindah ke gedung Eropees che Lagere School (Susteran Corjesu) dan setelah sekolah ini benar-benar tidak mampu menampung peminat, akhirnya pindah ke bekas Asrama Marine Belanda di Jalan Andalas, kompleks Angkatan Laut sampai tahun 1947.
Jika kita mengingat apa yang telah terjadi pada 1947 memang telah mengubah wajah sejarah Kota Malang. Betapa tidak, hampir 1.000 bangunan dihancurkan, semua infrastruktur harus dimulai dari awal. Hampir semua sarana dan prasarana setelah tahun tersebut tidak berfungsi.
Semua berfikir sepertinya peperangan berlangsung terus tanpa ada habisnya dimulai 1942. Ternyata banyak juga peristiwa membanggakan yang juga sangat memberikan dampak positif kepada nama besar Kota Malang. Salah satu peristiwa penting yang diselenggarakan di gedung Concordia Malang ini adalah Kongres KNI Pusat.
Rapat besar cikal bakal DPR-RI tingkat nasional ini membuktikan bahwa Kota Malang sangat layak menjai tempat diselenggarakannya even nasional itu terutama dari sisi keamanannya. Mengingat saat itu hampir semua wilayah di Indonesia tidak terjamin keamanannya karena pasukan Belanda menginginkan kembali daerah jajahannya.
Rapat besar ini diadakan pada 25 Februari sampai 5 Maret 1947 membahas masalah-masalah penting yang menjadi agenda perjuangan bangsa Indonesia. Saat itu dengan dihadiri tokoh-tokoh, Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Edward FE Douwes Dekker (Dr. Setyabudi), Ki Hajar Dewantoro (pendiri Taman Siswa), Dr. Soetomo, Panglima Soedirman, Bung Tomo dan para pembesar wakil negara-negara di dunia.
Rakyat berkumpul dan mengelu-elukan kehadiran para tokoh di depan Stasiun Kota Baru sampai di depan gedung Corcodia ini. Jan Bouwer dari Nieuwsgier menulis di media internasiional, “De ontvangst der buitenlandsche gasten was allervoorkomendst en niets werd nagelaten om het hun zoo aangenaam mogelijk te maken”. Penerimaan terhadap tamu luar negeri sangat manis dan segala sesuatu diusahakan untuk menyenangkan mereka sedapat mungkin. Rupanya nama besar Kota Malang menjadi daya tarik tersendiri sebagai tempat penyelenggaraan dengan dibuktikan jumlah tamu yang diundang 1.000 orang, tapi tamu yang hadir lebih dari 1.500 orang.
Semua penginapan dan hotel di Malang dan Batu penuh sesak, bahkan tidak jarang tamu peserta masih ingin tinggal lebih lama setelah acara usai. Malang bumihangus adalah sisi kelam sejarah Kota Malang yang mau tidak mau harus diketahui oleh masyarakat sebagai bahan pembelajaran bahwa Malang tidak pernah menyerah dalam mempertahankan kotanya.
Kota Malang selalu bersatu meskipun terdiri dari beberapa suku, ras, dan pendidikan. Sekarang adakah sifat-sifat dasar masyarakat dan Pemerintah Kota Malang yang sudah teruji memenangkan semua pertempuran itu muncul kembali dalam membangun kotanya?

sumber: http://pattiromalang.blogspot.co.id/2012/04/kisahsejarah-kota-malang-yang-tak.html

0 Comment:

Posting Komentar