Empat Tahun
Pemerintahan Kota Ngurusi Ke Bantur
Kondisi Kota Malang luluh lantak dalam peristiwa bumi hangus tahun 1947,
Pemerintah Kota Malang pun morat-marit
dan pegawai dibagi dalam dua kelompok. Dan, tahukah jika pemerintahan kota
sempat pindah ke Bantur, Malang Selatan. Mengapa itu dilakukan? Serta berapa
bangunan yang hancur dalam peristiwa 1947?
Kalau Bandung lautan api ada
lagunya, sedangkan Malang tidak punya. Jadi kurang dikenal atau kalah ngetop
dengan Bandung. Semua tahu pada 1945 Indonesia sudah merdeka, tapi masih belum
sepenuhnya diakui oleh dunia internasional.
Sehingga Belanda masih mengklaim
sebagai negara jajahannya setelah direbut Jepang tahun 1942. Dua tahun setalah
itu, Belanda memutuskan untuk kembali menguasai daerah Jatim, khususnya Malang.
Karena sesuai sifat dasarnya sebagai daerah pertahanan, Malang harus dikuasai dulu
baru kota lain.
Kota Paling
Aman, Tokoh Nasional Berkumpul Dalam Kongres KNI
Namun, peperangan yang hanya
memakan waktu beberapa hari itu mengubah wajah kota dan menorah tinta sejarah
yang demikian dalam. Detik-detik peristiwa tersebut sangat menegangkan. Jika skenarionya diadopsi
menjadi sebuah naskah film, maka akan menjadi film kolosal yang menegangkan.
Peristiwa tersebut berawal pada 31
Juli 1947 sekitar pukul 03.00. Tentara Belanda melakukan penyerangan yang
sangat hebat di Kota Malang sampai akhirnya status Malang yang sebelumnya kota
merdeka, kembali menjadi kota pendudukan Belanda.
Peristiwa tersebut dikenal dengan
nama aksi militer atau Crash I.
sebelum kedatangan pasukan Belanda di Malang, hampir 1.000 bangunan Belanda
dibumihanguskan termasuk Balai Kota Malang (Bleed
van en Stad) dan pemerintahan kota dipindah sementara ke Palace Hotel
(sekarang Hotel Pelangi).
Selanjutnya pegawai dibagi menjadi
dua golongan, golongan luar kota, dan golongan yang berjuang di dalam kota.
Setelah dirasa kondisi sangat tidak memungkinkan, sebagian besar pindah ke Sumberpucung
dan Gondanglegi. Pemerintahan kota akhirnya juga dipindah di Bantur sampai
terjadi Clash II pada 1948.
Pejuang yang tergabung dalam
tentara pelajar TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) banyak yang gugur meninggalkan bekas ‘massagraf’ di Jalan Salak (Jalan Pahlawan Trip). Rakyat sendiri
mengungsi ke daerah selatan (Tumpang, Wajak, Turen, Gondanglegi, Pakisaji,
Kepanjen sampai Blitar) dan daerah barat (Batu, Pujon, dan Ngantang) sampai
penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949.
Sebelumnya pada September 1949
beberapa orang dari Malang Selatan, antara lain Letkol Dr. Soedjono diundang ke
Surabaya untuk menerima pengembalian daerah karesidenan Malang termasuk Kota
Malang. Pemerintahan Kota Malang kembali di gedung balai kota pada tanggal 2 Maret
1950.
Sementara itu ketentaraan dan
kepolosian telah mendahului memasuki kota dan bermarkas di Hotel Trio (bekas
kantor dispenda depan Stasiun Kota Baru). Dari perintiwa itu telah memunculkan
nama-nama pahlawan lokal, antara lain Hamid Roesdi.
Hamid Roesdi,
Pahlawan Tiga Masa
Hamid Roesdi dikenang sebagai sosok
pahlawan tiga masa. Yakni, masa penjajahan Belanda, Jepang, dan kemerdekaan
yang sangat konsisten memperjuangkan hak-hak rakyat. Beliau lahir pada Senin
Pon 1911 di Desa Sumbermanjingkulon, Pagak, Kabupaten Malang.
Pada masa penjajahan Belanda, dia
sangat aktif di bidang kepanduan dan tergabung dalam “Pandu Ansor”, karena
beliau juga seorang guru agama sekaligus staf Partai NU. Beberapa tahun
kemudian bekerja di Malang sebagai sopir di Penjara Besar Malang (LP
Lowokwaru).
Pada 8 Maret 1942 Jepang memasuki
Kota Malang dan mulai memerintahkan membuat barisan Heiho, Seinedan, Keibodan, dan Djibakutai sekaligus melakukan
tekanan fisik pada rakyat. Melihat situasi itu, Hamid Roesdi keluar dari
pekerjaannya dan memulai membela nasib rakyat dengan menyusup ke PETA (Pembela
Tanah Air) pada 1943 yang dibentuk atas usul Gatot Mangkupraja. Dia ditugaskan
di Malang dengan pangkat Sudanco
(Letnan I).
Selain berlatih militer, dia juga
sibuk mempersiapkan lascar rakyat untuk menentang Jepang. Pada malam hari
tanggal 3 September 1945 diumumkan daerah Karesidenan Surabaya masuk wilayah
RI, Hamid Roesdi mulai melucuti tentara Jepang di Malang. Pada 1946 menjabat
sebagai perwira staf Divisi VII Suropati dengan pangkat mayor dan bertempat
tinggal sementara di Jalan Semeru (sekarang Bank Permata).
Dianggap berhasil menangani
pelucutan tentara Jepang, kamudian diangkat sebagai Komandan Balyon I Resimen
Infanteri 38 Jawa Barat dan menyelesaikan pertempuran di sana dengan sukses.
Sekembalinya dari Jawa Barat dinaikkan pangkatnya letnan colonel menjadi
komandan pertahanan daerah Malang di Pandaan-Pasuruan.
Pada Clash I 1947 Hamid Roesdi dengan gigih memimpin pasukan
mempertahankan Kota Malang dari Tentara Belanda. Sebelum Belanda memasuki
Pandaan, Hamid Roesdi berkeliling kota menaiki jeep untuk memerintahkan seluruh rakyat membumihanguskan bangunan
Belanda.
Ketika Kota Malang tidak dapat
dipertahankan lagi, beliau membuat pertahanan di Bululawang dan menyusun
strategi merebut Malang kembali. Tengah malam, 8 Maret 1949, kondisi perang
sangat genting. Hamid Roesdi datang dan berpamitan pada istrinya, Siti Fatimah.
Itulah pertemuan terakhir dengan istrinya dan tidak pernah kembali lagi
selama-lamanya (biografi pahlawan Hamid Roesdi, Bintaldam V Brawijaya 1989).
Istilah Perwira
Dan Taruna Lahir Dari Malang
Selain pahlawan Hamid Roesdi, peran
penting dalam pertempuran 1947 adalah pasukan TRIP yang tergabung dari beberapa
sekolah. Pada saat pendudukan Jepang di Jawa Timur 1942, telah banyak pelajar
yang aktif mengikuti latihan perang-perangan di sekolah. Dan setelah Jepang
menyerah terjadi pelucutan senjata, lahirlah organisasi-organisasi pelajar di
Surabaya. Saat insiden bendera di Oranje Hotel 19 September 1945, para pelajar
mulai aktif dan mulai mengeluarkan perintah tempur. Pada 5 Oktober 1945
terbentuklah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pelajar, selanjutnya berubah menjadi
Tentara Republik Indonesia (TRI) pelajar dengan komandan Mas Isman dengan
Batalyon 1.000-5.000 meliputi Surabaya, Mojokerto, Bojonegoro, Madiun, Kediri,
Blitar, Jember, dan Malang.
Pada tahun 1949 kekuasaan TRIP
berpusat di Blitar. Kapten Sukamto ditunjuk sebagai local joint committee united nation. Dan pada 1949-1950 TRIP Jawa
Timur dimobilisir lewar Brigade 17 (Kopex
17). Di malang terdapat monumen perjuangan TRIP untuk menghormati tentara
pelajar yang menjadi korban pertempuran di Jalan Salak (Jalan Pahlawan TRIP)
melawan Belanda pada 31 Juli 1947. Sekarang monumen tersebut berdiri tegak di
sekitar Jalan Ijen berdampingan dengan monumen Melati yang berada tepat di
poros Jalan Ijen dengan tinggi 7 meter dengan bunga Melati di pundaknya.
Monumen ini adalah bentuk
penghargaan terhadap sekolah darurat awal pembentukan TKR (sekarang TNI) di
daerah yang diberi nama Sekolah Tentara Divisi VIII pada tahun 1946. Namun
Divisi VIII berganti nama menjadi Sekolah Tentara Divisi VII Suropati dengan
simbol melati.
Di Malang sekolah ini lebih dikenal
dengan nama Sekolah Kadet Malang, karena siswanya biasa disebut dengan Kadet. Gagasan pendirian sekolah ini
berawal dari Kepala Staf Operasi Divisi VIII Mayor Mutakad Hurip setelah beliau
pulang dari pertempuran di Surabaya yang pertama atau sebelum meletus
pertempuran kedua 10 November 1945.
Pembukaannya diumumkan oleh Mayor
Jendral Imam Sujai selaku komandan divisi VIII pada awal Novemnber 1945.
Ditegaskan lulusan Sekolah tentara Divisi VII Malang sama dan sederajat dengan
akademi militer di Yogyakarta. Istilah Perwira
pengganti Opsir dan istilah Taruna pengganti Kadet diakui nasional juga terlahir dari Malang. Karena Kota Malang
dalam bidang istilah bahasa memang selangkah lebih maju.
Hal ini dapat dilihat pada syair
lagu mars kadet Malang yang berjudul “Mars Taruna Perwira” (Moehkardi,
1979:192). Sekolah Tentara mula-mula menempati bekas gedung Meisjes HBS,
beberapa bulan kemudian pindah ke gedung Eropees
che Lagere School (Susteran Corjesu)
dan setelah sekolah ini benar-benar tidak mampu menampung peminat, akhirnya
pindah ke bekas Asrama Marine Belanda di Jalan Andalas, kompleks Angkatan Laut
sampai tahun 1947.
Jika kita mengingat apa yang telah
terjadi pada 1947 memang telah mengubah wajah sejarah Kota Malang. Betapa
tidak, hampir 1.000 bangunan dihancurkan, semua infrastruktur harus dimulai
dari awal. Hampir semua sarana dan prasarana setelah tahun tersebut tidak
berfungsi.
Semua berfikir sepertinya
peperangan berlangsung terus tanpa ada habisnya dimulai 1942. Ternyata banyak
juga peristiwa membanggakan yang juga sangat memberikan dampak positif kepada
nama besar Kota Malang. Salah satu peristiwa penting yang diselenggarakan di
gedung Concordia Malang ini adalah
Kongres KNI Pusat.
Rapat besar cikal bakal DPR-RI
tingkat nasional ini membuktikan bahwa Kota Malang sangat layak menjai tempat
diselenggarakannya even nasional itu terutama dari sisi keamanannya. Mengingat
saat itu hampir semua wilayah di Indonesia tidak terjamin keamanannya karena
pasukan Belanda menginginkan kembali daerah jajahannya.
Rapat besar ini diadakan pada 25
Februari sampai 5 Maret 1947 membahas masalah-masalah penting yang menjadi
agenda perjuangan bangsa Indonesia. Saat itu dengan dihadiri tokoh-tokoh, Ir.
Soekarno, Moh. Hatta, Edward FE Douwes Dekker (Dr. Setyabudi), Ki Hajar
Dewantoro (pendiri Taman Siswa), Dr. Soetomo, Panglima Soedirman, Bung Tomo dan
para pembesar wakil negara-negara di dunia.
Rakyat berkumpul dan mengelu-elukan
kehadiran para tokoh di depan Stasiun Kota Baru sampai di depan gedung Corcodia ini. Jan Bouwer dari Nieuwsgier menulis di media
internasiional, “De ontvangst der
buitenlandsche gasten was allervoorkomendst en niets werd nagelaten om het hun
zoo aangenaam mogelijk te maken”. Penerimaan terhadap tamu luar negeri
sangat manis dan segala sesuatu diusahakan untuk menyenangkan mereka sedapat
mungkin. Rupanya nama besar Kota Malang menjadi daya tarik tersendiri sebagai
tempat penyelenggaraan dengan dibuktikan jumlah tamu yang diundang 1.000 orang,
tapi tamu yang hadir lebih dari 1.500 orang.
Semua penginapan dan hotel di
Malang dan Batu penuh sesak, bahkan tidak jarang tamu peserta masih ingin tinggal
lebih lama setelah acara usai. Malang bumihangus adalah sisi kelam sejarah Kota
Malang yang mau tidak mau harus diketahui oleh masyarakat sebagai bahan
pembelajaran bahwa Malang tidak pernah menyerah dalam mempertahankan kotanya.
sumber: http://pattiromalang.blogspot.co.id/2012/04/kisahsejarah-kota-malang-yang-tak.html
0 Comment:
Posting Komentar