Dalam ingatanku hingga saat
ini, ketika itu Malang memang tidak seramai dan sepadat sekarang. Kendaraan
bermotor berlalu lalang kian kemari menyebarkan udara-udara kotor untuk
menyelimuti udara segar Malang. Dulu aku masih menemui burung-burung saling
berkicau, pohon-pohon hijau berayun menari di pinggir jalan, serta angin segar
hulu hilir menyapa setiap makhluk hidup sekitarnya. Indah dan menyenangkan
rasa-rasanya. Namun, seakan semua suasana yang aku rasakan tersebut
hilang sekejap seiring berkembangnya kota Malang menjadi semakin modern.
Pembangunan sana sini yang ku temui hingga saat ini memang memberikan perbedaan
yang sangat signifikan. Bangunan besar telah banyak berdiri kokoh menghiasi
kota, kendaraan besar seperti Bus, truk besar
dan kendaraan besar lainnya telah lama berlalu lalang dan ikut serta
meracuni Bumi Arema ini, citra kota ini sebagai Kota Seribu Bunga pun hilang berganti menjadi Kota Seribu Ruko. ironis!
Selain suasana yang
menyegarkan seperti yang aku deskripsikan diatas yang sudah hilang kegaduhan,
kekompakan, kebersamaan, dan kesatuan hati para AREMA serasa sudah mulai luntur
dan hilang kemegahan dan kegagahannya. Si Singo Edan yang di umbar-umbarkan
kebersamaannya dalam ikrar “SALAM SATU JIWA” terpecah oleh kepentingan-kepentingan
orang-orang asing. Kemudian,
keberadaan perpecahan tersebut membuat keadaan sekitar Malang sangat berbeda,
biasanya ketika AREMA bertanding di Stadion Gajayana atau Stadion Kanjuruhan
Malang akan banyak Aremania dan Aremanita berkumpul untuk siap-siap menonton
bersama dengan memakai atribut-atribut lengkap ala Arema.
Jika kita amati keberadaan
Angkutan Kota (Angkot) yang merajalela diseluruh kota Malang kini serasa
semakin berkurang jumlahnya. Entah karena memang keberadaan mahasiswa yang
sudah mempunyai kendaraan masing-masing. Tidak bisa dipungkiri jumlah sepeda
motor di Malang sudah sangat membludak, sehingga di sepanjang jalan kemacetan
sana sini dapat terjadi. Meskipun adanya angkot terkadang membuat beberapa
orang jengkel karena kelakuan supir angkot yang ugal-ugalan, berhenti mendadak,
mengisi kuota angkot melebihi sewajarnya, serta ongkos angkot yang tidak wajar
(biasanya jauh-dekat Rp. 2.500,- bisa menjadi Rp. 3.000,- hingga Rp. 5.000,-),
tapi tetap saja memberikan warna yang variasi di kota pendidikan ini.
sebagai contoh keadaan yang berbeda juga
dapat dirasakan di sepanjang jalan Pasar Dinoyo yang telah lama menjadi salah
satu ikon kota Malang. Dulu kemacetan yang panjang selalu terjadi di titik ini,
apalagi pas akhir-akhir pekan atau hari libur, banyak bus-bus dan kendaraan
besar lainnya lewat dijalan Dinoyo untuk menuju ke tempat wisata di Malang
maupun di Batu. Namun, keramaian di Pasar Dinoyo tidak akan seperti dulu lagi
hal itu karena akibat kepentingan pemerintah atau bisa dikatakan kepentingan
pihak-pihak elit dalam upaya untuk membangun pasar modern seperti minimarket/supermarket dan Mall sebagai pengganti
pasar tradisional akhirnya menyebabkan terpinggirkannya pedagang-pedagang untuk
mencari mata pencaharian. Sangat tragis jika harus melihat realita seperti ini.
Mengapa harus mengedepankan kepentingan-kepentingan orang-orang elit jika
nyatanya akan membuat semakin banyak orang-orang kelas bawah menjadi semakin
terpuruk dalam kesengsaraan kemiskinan.
MALANGKUCECWARA!!!
MALANGKUCECWARA!!!
MALANG NOMINOR SURSUM MOVEOR!!!
SALAM SATU JIWA!!!!!
0 Comment:
Posting Komentar