• MALANG KUçEçWARA‬ • MALANG NOMINOR SURSUM MOVEOR • MALANG BELONGS TO ME •

20 November 2015

KISAH SEJARAH KOTA MALANG YANG TAK BANYAK TERUNGKAP (Part 2)

Balai Kota Malang Dirancang Arsitek Dari Surabaya
Alon –alon asal kelakon artinya perlahan tetapi pasti. Namun, jika alon-aloon, artinya justru sangat berbeda. Aloon-aloon dari bahasa Belanda yang artinya lapangan terbuka. Di Malang ada dua alun-alun yang berada di depan kantor bupati dan balai kota. Bagaimana sejarahnya?
Zaman Hindu-Budha, alun-alun telah dikenal (dalam kitab negara Kertagama, Red). Asal usul kata dari kepercayaan masyarakat tani yang setiap kali ingin menggunakan tanah untuk bercocok tanam, maka haruslah dibuat upacara minta izin kepada dewi tanah dengan jalan membuat sebuah lapangan tanah sakral yang berbentuk persegi empat dan sekarang dikenal masyarakat sebagai alun-alun.
Pada masa Kerajaan Mataram, di alun-alun depan istana rutin diperuntukkan rakyat Mataram jika ingin menghadap penguasa. Alun-alun pada masa itu sudah berfungsi sebagai pusat administrative dan sosial budaya bagi penduduk pribumi.
Khusus Malang, Kantor Residen Menghadap Ke Selatan
Masyarakat berdatangan ke alun-alun untuk memenuhi panggilan atau memdengarkan pengumuman atau melihat unjuk kekuatan berupa peragaan bala prajurit dari penguasa setempat. Fungsi sosial budaya dapat dilihat dari kehidupan masyarakat dalam berinteraksi satu sama lain, apakah dalam perdagangan, pertunjukan hiburan, atau olahraga.
Untuk memenuhi seluruh aktivitas dan kegiatan tersebut, alun-alun hanya berupa hamparan lapangan rumput yang memungkinkan berbagai aktivitas dapat dilakukan. Pada masa masuknya agama Islam, seperti di alun-alun Malang, Masjid Jamik dibangun di sekitar alun-alun.
Alun-alun juga digunakan sebagai tempat kegiatan-kegiatan hari besar Islam termasuk sholat Idul Fitri. Pada zaman pra-kolonial, baik kota pusat kerajaan di pedalaman atau di pesisir, dibangun berdasar konsep tata ruang yang sama, yakni adanya lapangan luas yang ditengahnya ditanam satu atau dua buah pohon beringin yang disebut alun-alun (Santoso, 1984).
Sistem kaidah yang dipakai orang Jawa disebut Hasta Brata dikenal juga dengan ungkapan Kiblat Papat Limo Pancer, yakni keseluruhan ruang dibagi menjadi 4 atau 8 bagian. Pengelompokan dibuat berdasar padanan hal positif negative, unsure air di timur dan api ditempatkan di barat. Pusat duangan dipandang sebagai pusat dunia. (Sartono Kartodirdjo, 1987).
Nah, itulah sebabnya kenapa hampir semua pusat kota di Jawa mempunyai bentuk struktur yang hampir sama, pendapa bupati, masjid jamik, penjara, dan kantor residen (bupati). Sebelah selatan merupakan daerah sacral dan sebelah utara merupakan daerah profane.
Karena itu, di semua alun-alun, rumah bupati selalu diletakkan di selatan, kecuali di Malang yang ditempatkan sebelah timur menghadap ke selatan. Tidak jelas alasannya, tapi kemungkinan karena Malang dikenal daerah dengan pertahanan yang kuat. Sehingga tidak perlu diawasi langsung oleh residen.
Alun-alun Malang didirikan tahun 1882 (Kotapraja Malang, 1964). Jika sejarah itu benar, maka jelas pembangunan alun-alun Malang untuk kepentingan Belanda yang menjadikan alun-alun sebagai pusat kontrol. Hampir semua kegiatan produksi ekonomi terkumpul di sana.
Belanda sengaja menempatkan kantor bupati berhadapan dengan asisten residen (wakil bupati) yang kantornya di selatan alun-alun (sekarang Kantor Perbendaharaan dan Kas Negera). Dan, di sebelahnya masjid jamik yang berhadapan dengan penjara. Maksud setiap saat residen dapat mengontrol kegiatan bupati dan penduduk yang selalu berkumpul di pendapa bupati atau masjid jamik.
Karena alun-alun dipandang sebagai pusat kegiatan kota, maka secara tidak langsung pola pemukiman juga menyesuaikan dengan kondisi tersebut. Pemukiman orang Eropa di sebelah barat daya (Talun, Tongan, Sawahan), orang China di sebelah tenggara (Pecinan), Arab terletak di belakang Masjid (Kauman), dan pribumi di daerah Kebalen, Temenggungan, Jodipan. Sekarang dengan berkembangnya pembangunan kota Malang, keramaian kota menjadi terpecah.
Desain Balai Kota Disayembarakan, Tak Ada Yang Menang
Nah, kata aloon-aloon telah kita bahas arti, fungsi dan asal-usulnya. Terus sekarang, kenapa di Malang terdapat dua alun-alun? Bukankah satu sudah cukup, karena luas tanah dan perkembangan tahun 1900 masih memungkinkan untuk dioptimalkan.
Terus kalau dibilang tidak cukup, ya tidak cukup. Alasannya, pertumbuhan Malang ke depan sebagai contoh kota pusat pemerintahan dengan desain tata kota yang baik mempunyai satu syarat, yakni lingkungan yang kondusif.
Di Malang dirasa tidak memungkinkan lagi digabungkan pusat kota dengan pusat pemerintahan. Pusat kota telah berkembang sedemikian cepat dengan bertumbuhnya pusat ekonomi, hiburan, keagamaan dan sosial. Sedangkan pusat pemerintahan seiring dengan tumbuhnya Kota Malang harus segera membangun gedung pusat pemerintahan satu atap (block office).
Pada 26 April 1920 pihak Gemeente (Kotapraja) Malang memutuskan untuk membuat daerah pusat pemerintahan baru yang sekarang kita kenal dengan alun-alun bunder atau sekarang kita kenal dengan Alun-alun Tugu sesuai dengan bentuk tanah lapang yang berbentuk bundar.
Sebelum tahun 1914 Malang masih merupakan daerah bagian dari Keresidenan Pasuruan dan kekuasaan tertinggi di Malang adalah sisten residen. Setelah kota Malang dinaikkan statusnya menjadi Gemeente (kotamadya) tanggal 1 April 1914, Kota Malang berhak memerintah daerah sendiri dengan dipimpin oleh seorang burgemeester (wali kota). Jabatan wali kota waktu itu dirangkap asisten residen sampai 1918. Baru tahun 1919 Malang mempunyai wali kota pertana H.I Bussemaker.
Setelah selesai dibangun alun-alun bundar, Malang masih belum mempunyai kantor pemerintahan yang permanen dan berwibawa. Pada tanggal 26 April 1920 dibuat perencanaan perluasan kota yang di dalamnya termasuk pembangunan gedung balai kota sebagai tempat pemerintahan yang baru.
Gagasan perencanaan itu timbul setelah wali kota mengadakan sayembara perencanaan Balai Kota Malang dengan juri Ir.W.Lemei, Ph.N. Te Winkel dan Ir.A.Grunberg. Dari 22 peserta lomba, tidak ada satupun yang memenuhi syarat.
Maka tanggal 14 Februari 1927 diputuskan oleh dewan kota agar rancangan yang paling baik diadakan perubahan dan segera dilaksanakan pembangunan dengan anggaran F.287.000. Rancangan yang akhirnya dipakai adalah karya H. F Horn dari Semarang dengan motto Voor de Burgers van Malang (Untuk Warga Malang).
Pembangunan balai kota dilaksanakan pada 1927-1929 dan mulai ditempati September 1929 oleh wali kota kedua Ir.E.A Voorneman, Ruang wali kota dirancang sendiri oleh C.Citroen dari Surabaya yang sampai sekarang masih terlihat megah.
Bangunan yang tetap dipertahankan keasliannya ini menjadi bangunan cagar budaya di Malang yang dirancang bersama-sama para arsitek terkenal di Jawa saat itu. Nah, keinginan untuk mempunyai dua alun-alun telah kelakon meskipun dengan alon-alon. Menurut saya lebih alon-alon asal kelakon, tapi kelakonnya dengan hasil yang perfect dari pada ora alon-alon ora kelakon (cepat tapi tidak sesuai harapan). Tinggal sekarang bagaimana kita memanfaatkan kelakon itu dengan cerdas.

sumber:  http://pattiromalang.blogspot.co.id/2012/04/kisahsejarah-kota-malang-yang-tak.html

0 Comment:

Posting Komentar