KISAH
SEJARAH KOTA MALANG YANG TAK BANYAK TERUNGKAP (1)
Punya Anak
Kembar, Arsitek Belanda Bikin Gedung Kembar di Kayutangan
Warga Kota Malang pasti tahu
kawasan Kayutangan. Tapi, mungkin tak banyak tahu, mengapa disebut Kayutangan?
Mengapa dulu orang-orang Eropa banyak yang memilih tinggal di sana?
Setidaknya ada dua versi yang
menyebutkan, mengapa disebut Jalan Kayutangan, yang di zaman Belanda dikenal
dengan nama Jalan Pita itu?
Pertama, merujuk pada data
sejarahyang menyebutkan sebelum tahun 1914 di kawasan itu terdapat papan
penunjuk arah berukuran besar yang berbentuk tangan yang dibuat oleh Belanda.
Kedua, disaat mulai berkembangnya
kawasan alun-alun, di ujung jalan arah alun-alun terdapat pohon yang menyerupai
tangan. Karena itu kawasan tersebut lantas disebut Kayutangan.
Sampai sekarang kompleks pertokoan
ini masih relatif terjaga keasliannya. Sekitar 1960-1970-an pertokoan itu
membuat pusat keramaian di Kota Malang dengan ragam usaha. Antara lain,
perdagangan umum, perkantoran, gedung bioskop, pakaian jadi, kelontong, dan
lain-lain.
Di sepanjang Jalan Kayutangan
terdapat perempatan yang terkenal, yang dulu sering disebut perempatan
Rajabaly. Yang menarik adalah keunikan bentuk arsitektur pertokoannya yang
terdapat tepat di perempatan Jalan Kayutangan (sekarang Jalan Basuki Rahmat,
Jalan Kahuripan, dan Jalan Semeru).
Pertokoan itu dibangun pada tahun
1936 oleh arsitek Karel Bos. Bentuk
kembar bangunan sebelah kanan dan kiri itu bukan hanya menggambarkan pintu
gerbang menuju Jalan Semeru, tapi menurut beberapa tokoh masyarakat di sana,
bangunan kembar tersebut terinspirasi dari sang arsitek yang baru dikaruniai
putra kembar.
Gaya arsitektur yang beraliran Nieuwe Bouwen itu mempunyai menara di
atas bangunan yang berfungsi sebagai tempat pengamatan sekitar.
Beberapa kejadian yang menggunakan
akses Kayutangan sebagai jalan utama antara lain, prosesi penyerahan kekuasaan
Belanda kepada Jepang pada 27-28 Februari 1942. Sebelumnya, sekutu Belanda menyerah
kalah di Laut Jawa pada 1 Februari 1942.
Ketika itu, pukul 04.00 pasukan
Jepang memasuki Pulau Jawa di empat Pesisir Laut Utara. Invasi Jepang di Jawa
Timur dipimpin oleh Letnan Jendral
Tsuchihashi Yuitsu dengan total pasukan 20.000 orang. Pasukan Belanda
Divisi III yang tersisa pimpinan Mayor
Jendral G.A.Ilgen terkonsentrasi di Ngoro.
Di Malang, batalyon marinir yang
dipimpin oleh W.A.J mundur ke Dampit. Tahun 1942 diberlakukan Milisi (Wajib
Militer). Program milisi itu mempersenjatai kaum pelajar untuk melawan pasukan
Jepang. Tanggal 8 Maret 1942, Malang dinyatakan sebagai kota terbuka. Sekali lagi
jalan tempat konsentrasi masa saat itu berada di Jalan Kayutangan.
Sore harinya negosiator Jepang
menuntut Belanda untuk menyerah tanpa syarat. Maka Letnan Jendral Ter Poorten menyerah kepada Nippon. Kemudian pasukan
Jepang memasuki Malang. Pada fase I penguasaan Jepang di Malang diadakan parade
di Ijen Boulevard melewati Kayutangan.
Saat itu semua rakyat
mengelu-elukan Jepang sebagai penyelamat dan menjanjikan kemakmuran yang baik
dengan slogan “Asia untuk Orang Asia”
yang tak lain propaganda Jepang. Pada 9 Maret 1942 pukul 03.00 dini hari, Residen Malang G. Schwenkcke menyebarkan
selebaran. Jika ditulis dengan bahasa sekarang: “Pendudukan pasukan Dai Nippon
akan datang dalam beberapa jam untuk menenangkan kota supaya tidak ada
pertempuran. Maka saya akan minta komandan Dai Nippon untuk membolehkan
tugas-tugas pekerjaan politik”.
Jepang lantas mengeluarkan perintah
larangan untuk mengibarkan bendera Belanda, mendengarkan radio siaran luar
negeri dan memasang gambar Ratu Belanda serta anggota kerajaan Belanda.
Pada 16 Maret 1942 diumumkan
pengurangan gaji pegawai yang drastis, pakaian dan barang-barang berharga
disita. Semua sekolah pendidikan Belanda ditutup. Semua uang di bank dipindah
ke Javasche Bank (sekarang Bank
Indonesia). Krisis keuangan di mana-mana.pada 30 Juli 1947 di Jakarta, The Nieuwsqier menuliskan bahwa masyarakat,
polisi dan pemerintah Malang mencoba menghalang-halangi pasukan Belanda, tetapi
kemudian dapat dikalahkan.
Pada 31 Juli 1947, surat kabar
nasional di Jogjakarta menulis, jika diterjemahkan secara bebas adalah: “Di
Malang ada taktik bumi-hangus yang diterapkan besar-besaran dan diperkirakan
1.000 bangunan balanda dan instalasi strategis dihancurkan dengan cara dibakar
dan diledakkan dengan sisa-sisa bom milik Dai Nippon.
Patung Chairil
Anwar di Kayutangan
Sebelum perang 1947, Malang
mempunyai cara unik dalam berperang, yakni tidak dengan senjata, tetapi dengan
pena. Untuk selalu mengobarkan semangat para pemuda, atas gagasan seorang
pemuda A.Hudan Dardiri, dibangunlah patung penyair binatang jalang kelahiran
Medan Chairil Anwar.
Sengaja patung ini dibangun di
tengah-tengah poros jalan utama waktu itu, Kayutangan. Dibangun pada tanggal 28
April 1955, diresmikan oleh Wali-kotamadya Malang Sardjono. Saat itu Kayutangan
diyakini sebagai jalan persimpangan yang selalu dilewati semua pejuang Malang.
Karena itu, sangat strategis jika
ingin menyampaikan pesan apapun kepada masyarakat Malang lewat Jalan Kayutangan.
“Biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang, menerjang…”. Ini adalah cuplikan
puisi Chairil Anwar yang menggambarkan semangat perjuangan seorang seniman
lewat karya sastranya.
Di Malang, peran aktif seniman
dalam membangkitkan api perjuangan sangat dihargai. Tepat di ujung Jalan
Kayutangan juga terdapat bangunan yang juga menjadi saksi sejarah Kota Malang,
yakni Gedung Societeit Concordia.
Gedung ini patut dijuluki sebagai
cikal bakal sejarah Malang, karena menjadi tempat tinggal pertama bupati
sekaligus menjadi tempat berkumpul pertama warga Belanda saat mulai berani
keluar dari benteng pertahanan di Celaket.
Berdasar Surat Resolusi pada 31
Oktober 1820 Nomor 16 (Bupati Soerabaia, 1914) menyatakan bahwa tempat yang
sekarang menjadi Sarinah Mall itu adalah Rumah Dinas Raden Panji
Wielasmorokoesoemo. Setelah diangkat menjadi Bupati Malang dan Ngantang, lantas
berganti nama menjadi Raden Toemenggoeng Notodiningrat.
Jadi, Kantor Kabupaten Malang
sebelum berada di lokasi sekarang (Jalan H.Agus Salim), awalnya berada di
tempat itu sampai tahun 1839 bersamaan dengan wafatnya beliau. Setelah itu
tempat bekas pendapa kebupaten ini diambil oleh Belanda kemudian dijadikan Gedung Societiet Concordia. Dibangun
sebelum tahun 1900 dengan gaya Indishe
Empire yang bercirikan kolom-kolom Yunani Kuno.
Setelah tahun 1914, setelah Malang
menjadi kotapraja, gedung tersebut dirobohkan dan digantikan dengan model
bangunan kolonial modern untuk mengakomodasi kebutuhan tempat rekreasi warga
Belanda. Di sana disediakan seperti meja tempat main kartu, meja biliar,
perpustakaan, gedung pertemuan dan ice
skating di atap yang datar, dan pada saat tertentu dilapisi es (Ong Kian
Bie).
Pada tahun 1947, gedung yang pernah
dipakai sedang KNI pusat itu dibumihanguskan dalam rangka strategi perang
gerilya dan tahun 1948 gedung tersebut diratakan dengan tanah, lalu dibangun
gedung gedung baru untuk pusat pertokoan pertama di Malang yang sekarang
bernama Sarinah. Nama Sarinah diciptakan oleh Presiden Soekarno yang berarti abdi masyarakat.
Pertokoan Kayutangan memberikan
berkah kepada penduduk pribumi yang mengais rezeki sebagai pegawai toko di
Kayutangan. Selai itu juga menjadi tempat pertemuan penduduk Eropa dan pribumi
atas nama ekonomi sejak sebelum tahun 1900.
Jika mengacu pada buku Stadsgemeente Malang (1914-1939),
penduduk Malang tahun 1914 terdiri dari tiga golongan. Yakni, pribumi, 40.000
jiwa, Eropa 2.500 jiwa dan Timur asing 4.000 jiwa. Daerah penyebarannya
meliputi, orang Eropa di barat daya alun-alun (Talun, Tongan, Sawahan,
Kayutangan, Oro-oro Dowo, Celaket, Klojenlor, dan Rampal).
Orang-orang China menempati daerah
Pecinan, orang-orang pribumi di daerah Kebalen, Temenggungan, Jodipan, Talun,
dan Klojen Lor. Daerah Kayutangan yang memang diperuntukkan orang Eropa
mempunyai ciri bangunan hanya terdapat di pinggir jalan besar, berbentuk kubus
dan mempunyai jalan kecil atau gang ke belakang untuk memudahkan mengawasi
lingkungan sekitar.
Bentuk penataan yang demikian itu
dimanfaatkan penduduk pribumi sebagai tempat bersandar di lingkungan belakang
pertokoan ramai untuk mendekatkan diri mencari peluang usaha (karyawan yang
bekerja di Jalan Kayutangan) yang dibutuhkan oleh kaum Eropa di pinggir jalan. Kondisi
tersebut akhirnya berubah sekaligus menjadi tempat tinggal untuk menetap.
Dalam perkembangannya, jalan-jalan
kecil (gang) di belakang pertokoan Kayutangan itu mempunyai aktivitas tradisi petan (mencari kutu rambut) bagi
ibu-ibu.
sumber: http://pattiromalang.blogspot.co.id/2012/04/kisahsejarah-kota-malang-yang-tak.html
0 Comment:
Posting Komentar