• MALANG KUçEçWARA‬ • MALANG NOMINOR SURSUM MOVEOR • MALANG BELONGS TO ME •

20 November 2015

KISAH SEJARAH KOTA MALANG YANG TAK BANYAK TERUNGKAP (Part 1)

KISAH SEJARAH KOTA MALANG YANG TAK BANYAK TERUNGKAP (1)
Punya Anak Kembar, Arsitek Belanda Bikin Gedung Kembar di Kayutangan
Warga Kota Malang pasti tahu kawasan Kayutangan. Tapi, mungkin tak banyak tahu, mengapa disebut Kayutangan? Mengapa dulu orang-orang Eropa banyak yang memilih tinggal di sana?
Setidaknya ada dua versi yang menyebutkan, mengapa disebut Jalan Kayutangan, yang di zaman Belanda dikenal dengan nama Jalan Pita itu?
Pertama, merujuk pada data sejarahyang menyebutkan sebelum tahun 1914 di kawasan itu terdapat papan penunjuk arah berukuran besar yang berbentuk tangan yang dibuat oleh Belanda.
Kedua, disaat mulai berkembangnya kawasan alun-alun, di ujung jalan arah alun-alun terdapat pohon yang menyerupai tangan. Karena itu kawasan tersebut lantas disebut Kayutangan.
Entah mana yang menjadi dasar. Yang jelas, nama Kayutangan (Kajoetangan) banyak terdapat di buku laporan Belanda tahun 1890 hingga masih diucapkan sampai sekarang. Kompleks pertokoan di sepanjang Jalan Kayutangan (sekarang Jalan Basuki Rahmad) mulai dari pertigaan depan PLN sampai di depan Gereja Katolik Kayutangan dibangun antara tahun 1930-1940, yang saat itu bergaya atap datar dan berbentuk kubus.
Sampai sekarang kompleks pertokoan ini masih relatif terjaga keasliannya. Sekitar 1960-1970-an pertokoan itu membuat pusat keramaian di Kota Malang dengan ragam usaha. Antara lain, perdagangan umum, perkantoran, gedung bioskop, pakaian jadi, kelontong, dan lain-lain.
Di sepanjang Jalan Kayutangan terdapat perempatan yang terkenal, yang dulu sering disebut perempatan Rajabaly. Yang menarik adalah keunikan bentuk arsitektur pertokoannya yang terdapat tepat di perempatan Jalan Kayutangan (sekarang Jalan Basuki Rahmat, Jalan Kahuripan, dan Jalan Semeru).
Pertokoan itu dibangun pada tahun 1936 oleh arsitek Karel Bos. Bentuk kembar bangunan sebelah kanan dan kiri itu bukan hanya menggambarkan pintu gerbang menuju Jalan Semeru, tapi menurut beberapa tokoh masyarakat di sana, bangunan kembar tersebut terinspirasi dari sang arsitek yang baru dikaruniai putra kembar.
Gaya arsitektur yang beraliran Nieuwe Bouwen itu mempunyai menara di atas bangunan yang berfungsi sebagai tempat pengamatan sekitar.
Beberapa kejadian yang menggunakan akses Kayutangan sebagai jalan utama antara lain, prosesi penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang pada 27-28 Februari 1942. Sebelumnya, sekutu Belanda menyerah kalah di Laut Jawa pada 1 Februari 1942.
Ketika itu, pukul 04.00 pasukan Jepang memasuki Pulau Jawa di empat Pesisir Laut Utara. Invasi Jepang di Jawa Timur dipimpin oleh Letnan Jendral Tsuchihashi Yuitsu dengan total pasukan 20.000 orang. Pasukan Belanda Divisi III yang tersisa pimpinan Mayor Jendral G.A.Ilgen terkonsentrasi di Ngoro.
Di Malang, batalyon marinir yang dipimpin oleh W.A.J mundur ke Dampit. Tahun 1942 diberlakukan Milisi (Wajib Militer). Program milisi itu mempersenjatai kaum pelajar untuk melawan pasukan Jepang. Tanggal 8 Maret 1942, Malang dinyatakan sebagai kota terbuka. Sekali lagi jalan tempat konsentrasi masa saat itu berada di Jalan Kayutangan.
Sore harinya negosiator Jepang menuntut Belanda untuk menyerah tanpa syarat. Maka Letnan Jendral Ter Poorten menyerah kepada Nippon. Kemudian pasukan Jepang memasuki Malang. Pada fase I penguasaan Jepang di Malang diadakan parade di Ijen Boulevard melewati Kayutangan.
Saat itu semua rakyat mengelu-elukan Jepang sebagai penyelamat dan menjanjikan kemakmuran yang baik dengan slogan “Asia untuk Orang Asia” yang tak lain propaganda Jepang. Pada 9 Maret 1942 pukul 03.00 dini hari, Residen Malang G. Schwenkcke menyebarkan selebaran. Jika ditulis dengan bahasa sekarang: “Pendudukan pasukan Dai Nippon akan datang dalam beberapa jam untuk menenangkan kota supaya tidak ada pertempuran. Maka saya akan minta komandan Dai Nippon untuk membolehkan tugas-tugas pekerjaan politik”.
Jepang lantas mengeluarkan perintah larangan untuk mengibarkan bendera Belanda, mendengarkan radio siaran luar negeri dan memasang gambar Ratu Belanda serta anggota kerajaan Belanda.
Pada 16 Maret 1942 diumumkan pengurangan gaji pegawai yang drastis, pakaian dan barang-barang berharga disita. Semua sekolah pendidikan Belanda ditutup. Semua uang di bank dipindah ke Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia). Krisis keuangan di mana-mana.pada 30 Juli 1947 di Jakarta, The Nieuwsqier menuliskan bahwa masyarakat, polisi dan pemerintah Malang mencoba menghalang-halangi pasukan Belanda, tetapi kemudian dapat dikalahkan.
Pada 31 Juli 1947, surat kabar nasional di Jogjakarta menulis, jika diterjemahkan secara bebas adalah: “Di Malang ada taktik bumi-hangus yang diterapkan besar-besaran dan diperkirakan 1.000 bangunan balanda dan instalasi strategis dihancurkan dengan cara dibakar dan diledakkan dengan sisa-sisa bom milik Dai Nippon.
Patung Chairil Anwar di Kayutangan
Sebelum perang 1947, Malang mempunyai cara unik dalam berperang, yakni tidak dengan senjata, tetapi dengan pena. Untuk selalu mengobarkan semangat para pemuda, atas gagasan seorang pemuda A.Hudan Dardiri, dibangunlah patung penyair binatang jalang kelahiran Medan Chairil Anwar.
Sengaja patung ini dibangun di tengah-tengah poros jalan utama waktu itu, Kayutangan. Dibangun pada tanggal 28 April 1955, diresmikan oleh Wali-kotamadya Malang Sardjono. Saat itu Kayutangan diyakini sebagai jalan persimpangan yang selalu dilewati semua pejuang Malang.
Karena itu, sangat strategis jika ingin menyampaikan pesan apapun kepada masyarakat Malang lewat Jalan Kayutangan. “Biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang, menerjang…”. Ini adalah cuplikan puisi Chairil Anwar yang menggambarkan semangat perjuangan seorang seniman lewat karya sastranya.
Di Malang, peran aktif seniman dalam membangkitkan api perjuangan sangat dihargai. Tepat di ujung Jalan Kayutangan juga terdapat bangunan yang juga menjadi saksi sejarah Kota Malang, yakni Gedung Societeit Concordia.
Gedung ini patut dijuluki sebagai cikal bakal sejarah Malang, karena menjadi tempat tinggal pertama bupati sekaligus menjadi tempat berkumpul pertama warga Belanda saat mulai berani keluar dari benteng pertahanan di Celaket.
Berdasar Surat Resolusi pada 31 Oktober 1820 Nomor 16 (Bupati Soerabaia, 1914) menyatakan bahwa tempat yang sekarang menjadi Sarinah Mall itu adalah Rumah Dinas Raden Panji Wielasmorokoesoemo. Setelah diangkat menjadi Bupati Malang dan Ngantang, lantas berganti nama menjadi Raden Toemenggoeng Notodiningrat.
Jadi, Kantor Kabupaten Malang sebelum berada di lokasi sekarang (Jalan H.Agus Salim), awalnya berada di tempat itu sampai tahun 1839 bersamaan dengan wafatnya beliau. Setelah itu tempat bekas pendapa kebupaten ini diambil oleh Belanda kemudian dijadikan Gedung Societiet Concordia. Dibangun sebelum tahun 1900 dengan gaya Indishe Empire yang bercirikan kolom-kolom Yunani Kuno.
Setelah tahun 1914, setelah Malang menjadi kotapraja, gedung tersebut dirobohkan dan digantikan dengan model bangunan kolonial modern untuk mengakomodasi kebutuhan tempat rekreasi warga Belanda. Di sana disediakan seperti meja tempat main kartu, meja biliar, perpustakaan, gedung pertemuan dan ice skating di atap yang datar, dan pada saat tertentu dilapisi es (Ong Kian Bie).
Pada tahun 1947, gedung yang pernah dipakai sedang KNI pusat itu dibumihanguskan dalam rangka strategi perang gerilya dan tahun 1948 gedung tersebut diratakan dengan tanah, lalu dibangun gedung gedung baru untuk pusat pertokoan pertama di Malang yang sekarang bernama Sarinah. Nama Sarinah diciptakan oleh Presiden Soekarno yang berarti abdi masyarakat.
Pertokoan Kayutangan memberikan berkah kepada penduduk pribumi yang mengais rezeki sebagai pegawai toko di Kayutangan. Selai itu juga menjadi tempat pertemuan penduduk Eropa dan pribumi atas nama ekonomi sejak sebelum tahun 1900.
Jika mengacu pada buku Stadsgemeente Malang (1914-1939), penduduk Malang tahun 1914 terdiri dari tiga golongan. Yakni, pribumi, 40.000 jiwa, Eropa 2.500 jiwa dan Timur asing 4.000 jiwa. Daerah penyebarannya meliputi, orang Eropa di barat daya alun-alun (Talun, Tongan, Sawahan, Kayutangan, Oro-oro Dowo, Celaket, Klojenlor, dan Rampal).
Orang-orang China menempati daerah Pecinan, orang-orang pribumi di daerah Kebalen, Temenggungan, Jodipan, Talun, dan Klojen Lor. Daerah Kayutangan yang memang diperuntukkan orang Eropa mempunyai ciri bangunan hanya terdapat di pinggir jalan besar, berbentuk kubus dan mempunyai jalan kecil atau gang ke belakang untuk memudahkan mengawasi lingkungan sekitar.
Bentuk penataan yang demikian itu dimanfaatkan penduduk pribumi sebagai tempat bersandar di lingkungan belakang pertokoan ramai untuk mendekatkan diri mencari peluang usaha (karyawan yang bekerja di Jalan Kayutangan) yang dibutuhkan oleh kaum Eropa di pinggir jalan. Kondisi tersebut akhirnya berubah sekaligus menjadi tempat tinggal untuk menetap.
Dalam perkembangannya, jalan-jalan kecil (gang) di belakang pertokoan Kayutangan itu mempunyai aktivitas tradisi petan (mencari kutu rambut) bagi ibu-ibu.
Sekarang Kayutangan lambat laun tertutupi dengan papan iklan dan bangunan pertokoannya berganti kepemilikan yang beresiko untuk dibongkar dijadikan model pertokoan yang modern. Padahal jika semua pihak mengerti untuk mengembalikan bentuk aslinya dengan membuka façade iklan di depannya, bukan tidak mungkin predikat Kayutangan sebagai komplek paling ramai dan paling bergengsi akan disandang kembali. Semoga. 

sumber: http://pattiromalang.blogspot.co.id/2012/04/kisahsejarah-kota-malang-yang-tak.html

0 Comment:

Posting Komentar