• MALANG KUçEçWARA‬ • MALANG NOMINOR SURSUM MOVEOR • MALANG BELONGS TO ME •

20 November 2015

KISAH SEJARAH KOTA MALANG YANG TAK BANYAK TERUNGKAP (Part 3)

Lahir Prematur, 5 Tahun Kota Malang Tak Punya Wali Kota
Sejarah menyebutkan, jika diibaratkan bayi, Kota Malang lahir secara prematur. Mengapa? Siapakah orang Belanda yang pernah jadi Wali Kota Malang, tetapi sempat menggulirkan refprmasi birokrasi?
Pada 2007 saya pernah melakukan survei. Di antara pertanyaan yang saya berikan kepada para responden adalah, apakah Anda mengetahui kapan hari jadinya Kota Malang? Hasilnya, 68 persen menjawab tahu, 26 persen menjawab tidak tahu, dan sisanya tidak menjawab.
Dari yang menjawab tahu, saya beri pertanyaan lagi, apakah Anda mengetahui kisah sejarah yang melatarbelakangi mengapa Kota Malang ditetapkan hari jadinya pada 1 April? Hasilnya, 94 persen menjawab tidak tahu, 5 persen menjawab tawur  alias tahu tapi ngawur dan satu persen menjawab dengan benar.
Berdasarkan hasil survei tersebut, rasanya cukup relevan jika pada hari jadi Kota Malang yang ke-98 ini seputar kisah sejarah yang melatarbelakanginya diungkap.
Benarkah bahwa kelahiran Kota Malang itu disebut sebagai kelahiran yang prematur?
Dari catatan sejarah, pada 1 April  1914 (ditetapkan sebagai hari jadinya Kota Malang) itu sebenarnya Kota Malang belum matang untuk dilahirkan. Sebab, saat itu belum mempunyai dewan kota, dan belum punya burgemester (wali kota).
Bahkan sampai 1919, belum punya kantor pemerintahan (balai kota) dan belum punya beberapa fasilitas layaknya sebuah kota mandiri.
Ibarat kelahiran seorang bayi, ibu bidan belum datang, belum ada popok dan pas suami keluar kota. Bisa dibayangkan, bagaimana rumitnya persalinannya itu. Hal tersebut terjadi karena Kawedanan Kotta (Kota Malang) terlalu cepat tumbuh berkembang setelah ditetapkan menjadi a full blown town (kota yang dewasa) pada 1905. Bahkan pertumbuhannya melebihi daerah lain di Jawa (Gedenkbook Gemeente, 1939).
Sehingga, mau tidak mau, siap tidak siap, harus memisahkan diri dari Kabupaten Malang untuk memerintah diri sendiri. Angka pertumbuhan penduduk, perpindahan penduduk, dan pertumbuhan ekonominya, semua bergerak dengan cepat. Bank, hotel, tempat hiburan (societeit), sekolah, rumah klinik muncul di beberapa tempat.
Hal ini dikhawatirkan jika tidak segera dibentuk pemerintahan sendiri yang kredibel, maka akan menjadi permasalahan sosial yang sulit diatasi di kemudian hari. Untuk itu berdasar keputusan Instellings-Ordonnantie pada 1914 Staatsblad Nomor 297, Malang ditetapkan menjadi gemeente (kotapraja) dan sampai sekarang diperingati sebagai hari ulang tahun Kota Malang.
Pada awal 1914 Kota Malang adalah bagian dari Kabupaten Malang di bawah jajahan pemerintah Belanda. Kabupaten Malang mempunyai 8 distrik atau kawedanan. Yakni Kawedanan Karanglo, Pakis, Gondanglegi, Penanggungan, Sengoro Antang (Ngantang), Turen, dan Kawedanan Kotta.
Sedangkan Kabupaten Malang sendiri menjadi bagian dari Karesidenan Pasuruan bersama Kabupaten Bangil dan Kabupaten Pasuruan berdasar Staatsblad Nomor 6 Tahun 1819.
Pada saat itu Kawedanan Kotta dibagi menjadi 13 kampoong, yakni Kidulpasar, Taloon (Talun), Kahooman (Kauman), Leddok, Padeyan, Klojen, Lor Alun, Gadang, Tameengoonhan (Temenggungan), Palleyan (Polean), Jodeepan (Jodipan), Kabalen dan Cooto Lawas (Kota Lama).
Tahun 1800 setelah kebangkrutan VOC, Kabupaten Malang masih dirasa merupakan wilayah yang kurang menarik untuk dijadikan tempat tinggal. Pemerintah Belanda saat itu hanya memfungsikannya sebagai daerah pertahanan (terugval basis) tanpa punya nilai ekonomis yang tinggi.
Malang kemudian menjadi primadona Belanda dan menjadikannya kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah diberlakukannya Undang-Undang Gula (Suikerwet) dan Undang-Undang Agraria (Agrarischewet) pada 1870 yang memberikan kebebasan masyarakat luas untuk dapat menyewa lahan sampai dengan 75 tahun.
Saat itu sebagian besar orang Belanda berbondong-bondong datang ke Malang untuk  menanam kopi untuk kebutuhan ekspor ke Eropa yang bernilai sangat tinggi dan suiker (gula tebu). Malang dianggap daerah yang subur, mempunyai udara sejuk dan mempunyai akses jalan utama ke pelabuhan Surabaya.
Dilanjutkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) pada tahun 1903 yang kemudian ditetapkan pada 1905 yang intinya memberikan hak pemerintahan sendiri kepada karesidenan dan kabupaten (afdeling) yang diperintah oleh dewan wilayah (kabupaten) dan dewan kotapradja (gemeenteraad).
Sedangkan ketua dewan wilayah adalah seorang residen dan ketua dewan kotapradja adalah seorang burgemeester (wali kota). Pada 1914 wali kota masih dirangkap Asisten Residen F.L Broekveldt digantikan oleh J.J. Coert sampai 1919 dengan terpilihnya Mr. H.I. Bussemaker sebaga Wali Kota Malang yang pertama.
Perlu diketahui, karena prestasinya membangun Kotapraja Malang, H.I. Bussemaker setelah menjabat dua periode (1919-1929) dipercaya menjadi Wlikota Surabaya pada 1 Maret 1929.
Sebenarnya untuk ukuran kota yang baru berdiri, Kota Malang telah mencatat prestasi yang luar biasa. Bayangkan, dalam 9 tahun sejak diberlakukannya beberapa undang-undang, Kota Malang yang dulunya menjadi bagian dari Pasuruan, melejit menjadi kota terbesar kedua di Jawa Timur.
Belum lagi prestasi-prestasi di bidang lainnya. Tetapi ternyata perkembangan yang sedemikian pesat itu tidak membuat pemerintah puas diri. Karena tingkat kemandirian di beberapa bidang, proses penetapan dalam sistem pengambilan keputusan masih tergantung pada pemerintah yang lebih tinggi.
Meskipun sama-sama orang Belanda, Wali Kota Malang didukung 40.000 orang penduduk (33.500 pribumi, 2.500 Belanda, dan 4.000 China, dan Arab) sangat berani untuk mengajukan beberapa hal yang kontroversial. Seperti melakukan reformasi pemerintahan (bestuurs-hervormings-ordonnantic, 1922) dari sistem desentralisasi menjadi dekonsentrasi yang memperoleh wewenang mengatur daerah lebih besar dan kotapraja (gemeente) diganti dengan staadsgemeente.
Pada saat Pulau Jawa dibagi menjadi 3 bagian, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (Provincie-Ordonnantic Tahun 1926), Kota Malang menjadi pemimpin ibu kota Karesidenan, membawahi Kabupaten Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang.
Nah, kalau saat lahir luasnya 15,03 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 40 ribu orang, sekarang menjadi 110 kilometer persegi dengan jumlah 820.000 orang. Saatnya di ulang tahun kali ini Kota Malang dapat membuktikan kelahiran prematur itu membuat dewasa lebih cepat atau tidak sepat dewasa?

sumber: http://pattiromalang.blogspot.co.id/2012/04/kisahsejarah-kota-malang-yang-tak.html

0 Comment:

Posting Komentar