Lahir Prematur,
5 Tahun Kota Malang Tak Punya Wali Kota
Sejarah menyebutkan, jika
diibaratkan bayi, Kota Malang lahir secara prematur. Mengapa? Siapakah orang Belanda
yang pernah jadi Wali Kota Malang, tetapi sempat menggulirkan refprmasi
birokrasi?
Pada 2007 saya pernah melakukan
survei. Di antara pertanyaan yang saya berikan kepada para responden adalah,
apakah Anda mengetahui kapan hari jadinya Kota Malang? Hasilnya, 68 persen
menjawab tahu, 26 persen menjawab tidak tahu, dan sisanya tidak menjawab.
Dari yang menjawab tahu, saya beri
pertanyaan lagi, apakah Anda mengetahui kisah sejarah yang melatarbelakangi
mengapa Kota Malang ditetapkan hari jadinya pada 1 April? Hasilnya, 94 persen
menjawab tidak tahu, 5 persen menjawab tawur
alias tahu tapi ngawur dan satu persen menjawab dengan benar.
Berdasarkan hasil survei tersebut,
rasanya cukup relevan jika pada hari jadi Kota Malang yang ke-98 ini seputar
kisah sejarah yang melatarbelakanginya diungkap.
Benarkah bahwa kelahiran Kota
Malang itu disebut sebagai kelahiran yang prematur?
Dari catatan sejarah, pada 1
April 1914 (ditetapkan sebagai hari
jadinya Kota Malang) itu sebenarnya Kota Malang belum matang untuk dilahirkan.
Sebab, saat itu belum mempunyai dewan kota, dan belum punya burgemester (wali kota).
Bahkan sampai 1919, belum punya
kantor pemerintahan (balai kota) dan belum punya beberapa fasilitas layaknya
sebuah kota mandiri.
Ibarat kelahiran seorang bayi, ibu
bidan belum datang, belum ada popok dan pas suami keluar kota. Bisa
dibayangkan, bagaimana rumitnya persalinannya itu. Hal tersebut terjadi karena Kawedanan
Kotta (Kota Malang) terlalu cepat tumbuh berkembang setelah ditetapkan menjadi a full blown town (kota yang dewasa)
pada 1905. Bahkan pertumbuhannya melebihi daerah lain di Jawa (Gedenkbook Gemeente, 1939).
Sehingga, mau tidak mau, siap tidak
siap, harus memisahkan diri dari Kabupaten Malang untuk memerintah diri
sendiri. Angka pertumbuhan penduduk, perpindahan penduduk, dan pertumbuhan
ekonominya, semua bergerak dengan cepat. Bank, hotel, tempat hiburan (societeit), sekolah, rumah klinik
muncul di beberapa tempat.
Hal ini dikhawatirkan jika tidak
segera dibentuk pemerintahan sendiri yang kredibel, maka akan menjadi
permasalahan sosial yang sulit diatasi di kemudian hari. Untuk itu berdasar
keputusan Instellings-Ordonnantie
pada 1914 Staatsblad Nomor 297, Malang ditetapkan menjadi gemeente (kotapraja) dan sampai sekarang diperingati sebagai hari
ulang tahun Kota Malang.
Pada awal 1914 Kota Malang adalah bagian
dari Kabupaten Malang di bawah jajahan pemerintah Belanda. Kabupaten Malang
mempunyai 8 distrik atau kawedanan. Yakni Kawedanan Karanglo, Pakis,
Gondanglegi, Penanggungan, Sengoro Antang (Ngantang), Turen, dan Kawedanan
Kotta.
Sedangkan Kabupaten Malang sendiri
menjadi bagian dari Karesidenan Pasuruan bersama Kabupaten Bangil dan Kabupaten
Pasuruan berdasar Staatsblad Nomor 6
Tahun 1819.
Pada saat itu Kawedanan Kotta
dibagi menjadi 13 kampoong, yakni Kidulpasar, Taloon (Talun), Kahooman
(Kauman), Leddok, Padeyan, Klojen, Lor Alun, Gadang, Tameengoonhan
(Temenggungan), Palleyan (Polean), Jodeepan (Jodipan), Kabalen dan Cooto Lawas
(Kota Lama).
Tahun 1800 setelah kebangkrutan
VOC, Kabupaten Malang masih dirasa merupakan wilayah yang kurang menarik untuk
dijadikan tempat tinggal. Pemerintah Belanda saat itu hanya memfungsikannya
sebagai daerah pertahanan (terugval
basis) tanpa punya nilai ekonomis yang tinggi.
Malang kemudian menjadi primadona
Belanda dan menjadikannya kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah
diberlakukannya Undang-Undang Gula (Suikerwet)
dan Undang-Undang Agraria (Agrarischewet)
pada 1870 yang memberikan kebebasan masyarakat luas untuk dapat menyewa lahan
sampai dengan 75 tahun.
Saat itu sebagian besar orang
Belanda berbondong-bondong datang ke Malang untuk menanam kopi untuk kebutuhan ekspor ke Eropa
yang bernilai sangat tinggi dan suiker
(gula tebu). Malang dianggap daerah yang subur, mempunyai udara sejuk dan
mempunyai akses jalan utama ke pelabuhan Surabaya.
Dilanjutkan dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Desentralisasi (Decentralisatiewet)
pada tahun 1903 yang kemudian ditetapkan pada 1905 yang intinya memberikan hak
pemerintahan sendiri kepada karesidenan dan kabupaten (afdeling) yang diperintah oleh dewan wilayah (kabupaten) dan dewan
kotapradja (gemeenteraad).
Sedangkan ketua dewan wilayah
adalah seorang residen dan ketua dewan kotapradja adalah seorang burgemeester (wali kota). Pada 1914 wali
kota masih dirangkap Asisten Residen F.L Broekveldt digantikan oleh J.J. Coert
sampai 1919 dengan terpilihnya Mr. H.I. Bussemaker sebaga Wali Kota Malang yang
pertama.
Perlu diketahui, karena prestasinya
membangun Kotapraja Malang, H.I. Bussemaker setelah menjabat dua periode
(1919-1929) dipercaya menjadi Wlikota Surabaya pada 1 Maret 1929.
Sebenarnya untuk ukuran kota yang
baru berdiri, Kota Malang telah mencatat prestasi yang luar biasa. Bayangkan,
dalam 9 tahun sejak diberlakukannya beberapa undang-undang, Kota Malang yang
dulunya menjadi bagian dari Pasuruan, melejit menjadi kota terbesar kedua di
Jawa Timur.
Belum lagi prestasi-prestasi di
bidang lainnya. Tetapi ternyata perkembangan yang sedemikian pesat itu tidak
membuat pemerintah puas diri. Karena tingkat kemandirian di beberapa bidang,
proses penetapan dalam sistem pengambilan keputusan masih tergantung pada
pemerintah yang lebih tinggi.
Meskipun sama-sama orang Belanda,
Wali Kota Malang didukung 40.000 orang penduduk (33.500 pribumi, 2.500 Belanda,
dan 4.000 China, dan Arab) sangat berani untuk mengajukan beberapa hal yang kontroversial.
Seperti melakukan reformasi pemerintahan (bestuurs-hervormings-ordonnantic,
1922) dari sistem desentralisasi menjadi dekonsentrasi yang memperoleh wewenang
mengatur daerah lebih besar dan kotapraja (gemeente)
diganti dengan staadsgemeente.
Pada saat Pulau Jawa dibagi menjadi
3 bagian, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (Provincie-Ordonnantic Tahun 1926), Kota Malang menjadi pemimpin ibu
kota Karesidenan, membawahi Kabupaten Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang.
sumber: http://pattiromalang.blogspot.co.id/2012/04/kisahsejarah-kota-malang-yang-tak.html
0 Comment:
Posting Komentar